Sabtu, 02 Oktober 2010

Taqiyah

Taqiyah
Taqiyah termasuk konsep-konsep Al-Qur’an yang disebutkan di banyak
tempat dalam Al-Qur’an. Di dalam ayat-ayat tersebut ada isyarat
jelas yang menunjukkan kasus-kasus ketika seorang Mukrnin terpaksa
menempuh jalan yang disyariatkan ini dalam perjalanan hidupnya di
tengah kondisi yang sulit. Guna melindungi diri, kehormatan, dan
hartanya. Atau, untuk melindungi diri, kehormatan, dan harta orang
yang ada hubungan dengannya. Sebagaimana pernah ditempuh oleh kaum
Mukmin dari keluarga Fir’aun untuk melindungi
al-Kalim Musa
as dari ancarnan pembunuhan. Hal itu juga pemah dilakukann ‘Ammar
bin Yasir ketika ia ditawan dan diancam akan dibunuh. Dan masih
banyak kasus-kasus lain yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Yang jelas, kita harus mengenalnya, baik pengertian, tujuan, dalil,
dan definisi maupun batasannya. Sehingga kita dapat menghindari sikap
lalai dan berlebih-lebihan dalam melakukannya.


Taqiyah adalah isim dari kata ittaqa -yattaqi. Huruf ta' pada
kata itu menggantikan huruf
waw. Asalnya adalah al-wiqayah. Dari situ, at-taqwa diartikan secara mutlak sebagai
ketaatan kepada Allah. Sebab, orang yang taat menjadikannya sebagai
perlindungan dari neraka dan siksaan. Maksud
taqiyah itu
adalah menjaga diri dari bahaya yang ditimpakan orang lain dengan
menampakkan persetujuan kepadanya dalam ucapan atau perbuatan, yang
bertentangan dengan kebenaran.

Pengertian Taqiyah


Jika kata at-taqiyyah itu diamhil dari kata al-wiqayah (perlindungan) dari kejahatan, pengertiannya dalam AI-Qur'an dan
sunah adalah menampakkan (sikap) kekafiran dan menyembunyikan
keimanan, atau memperlihatkan yang batil dan menyembunyikan yang
benar. Apabila seperti itu pengertiannya, taqiyah berlawanan dengan
kemunafikan seperti halnya keimanan berlawanan dengan kekafiran.
Sebab, kemunafikan adalah lawannya. Kemunafikan adalah menampakkan
keimanan dan menyembunyikan kekafiran, serta memperlihatkan yang
benar dan menyembunyikan yang batil. Karena ada kontradiksi di antara
arti kedua kata tersebut, maka taqiyah tidak dapat dipandang sebagai
cabang dari kemunafikan.


Benar,
barangsiapa yang menafsirkan kemunafikan itu sebagai mutlak
pertentangan yang tampak terhadap yang tersembunyi, dan memandang
taqiyah - yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunah-sebagai salah
satu cabanghya, ia telah menafsirkannya dengan pengertian yang lehih
luas dari pengertian yang sebenarnya dalam Al-Qur'an. la te1ah
mendefinisikan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang
menampakkan keimanan dan menyem- bunyikan kekafiran. Allah swt
berfirman,
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,
mereka berkata, 'Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul Allah.
' Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya. Dan Allah menge- tahui bahwa sesungguhnya
orang-orang munafzk itu benar-benar pendusta.
" (QS.
al-Munafiqun [63]: 1)


Apabila demikian definisi munafik, lalu bagaimana hal itu dapat mericakup orang yang
menempuh taqiyah dalam menghadapi orang-orang kafir dan ahli maksiat
sehingga ia menyembunyikan keimanannya dan menampakkan sikap
persetujuan untuk melindungi diri, harta, dan kehormatan ketika
menghadapi ancaman.


Kebenarannya akan tampak jika kita mengetahui penggunaannya dalam syariat Islam.
Kalau taqiyah itu merupakan bagian dari kemunafikan, tentu hal itu
akan dicela dan mustahil Dzat Yang Maha bijaksana memerintahkannya.
A1lah swt berfirman,
"Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak
menyuruh (mengerjakan) pe buatan yang keji. Mengapa kamu
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?"
(QS.
al-A'raf [7]: 28)

Tujuan Taqiyah


Tujuan taqiyah adalah untuk melindungi diri, kehorrnatan, dan harta. Hal itu
dilakukan dalam kondisi-kondisi terpaksa ketika seorang Mukmin tidak
dapat menyatakan sikapnya yang benar secara terang-terangan karena
takut hal itu akan mendatangkan bahaya dan bencana dari kekuatan yang
lalim, seperti kebiasaan- kebiasaan pemerintahan yang suka melalimi,
mengintimidasi, mengusir, membunuh, menyita harta, dan merampas hak.
Karenanya, orang yang memegang teguh akidah, yang melihat dirinya
terancam, tentu ia akan menyembunyikan akidahnya. la menampakkan
sikap persetujuan terhadap keinginan dan kebijakan penguasa. Sehingga
ia selamat dari ancaman dan pembunuhan hingga Allah memutuskan
perkara yang lain.


Taqiyah adalah senjata orang yang lemah dalam mengahadapi kekuatan yang lalim,
senjata orang yang diuji dengan tindakan orang yang tidak menghargai
hak hidup, kehormatan, dan hartanya. Bukan karena apa-apa, melainkan
karena ia tidak sejalan dengannya dalam beberapa prinsip dan
pendapatnya.


Taqiyah itu dipraktekkan oleh orang yang hidup dalam lingkungan yang tidak
menerapkan kebebasan dalam berbicara, berbuat, berpendapat, dan
berakidah. Orang yang menentangnya tidak akan selamat kecuali dengan
sikap diam atau menampakkan persetujuan terhadap keinginan dan
pemikiran penguasa. Atau, sebagian orang menggunakan taqiyah sebagai
wahana yang harus ditempuh untuk menolong orang-orang lemah dan
teraniaya yang tidak memiliki daya dan kekuatan. Maka mereka
menampakkan sikap itu kepada penguasa yang lalim agar bisa
berhubungan dengannya. Hal itu seperti yang dilakukan orang Mukmin
dari keluarga Fir'aun yang dikisahkan Allah swt dalam Al-Qur'an.


Kebanyakan orang yang mencela orang-orang yang menempuh jalan taqiyah mengira
bahwa tujuan taqiyah itu adalah untuk membentuk
perkumpulan-perkumpulan rahasia yang bertujuan membuat kerusakan dan
kehancuran. Hal itu seperti yang dikenal di kalangan penganut
kebatinan dan partai-partai komunis ilegal. Itu merupakan pandangan
keliru yang mereka anut karena ketidaktahuan atau kesengajaan tanpa
mendasarkan pendapat mereka ini pada suatu dalil atau hujah yang
benar. Apa yang telah kami sebutkan berbeda dengan apa yang mereka
sebutkan. Kalau kondisi memaksa dan hukum-hukum yang lalim tidak
menyentuh kelompok yang lemah ini, tentu mereka tidak akan menempuh
taqiyah. Tentu mereka tidak akan menanggung beban berat dengan
menyembunyikan akidah mereka dan pasti mengajak orang-orang pada
akidah itu secara terang-terangan dan tanpa keraguan. Namun, senjata
selalu dihunus oleh semua pemerintahan yang lalim untuk ditebaskan
kepada orang-orang yang memiliki akidah yang berbeda dengan akidah
yang dianutnya. Praktek pertahanan seperti ini berbeda dari
praktek-praktek yang dilakukan para anggota perkumpulan-perkumpulan
rahasia untuk menjatuhkan dan merebut kendali pemerintahan. Maka
semua praktek mereka ditetapkan dan diatur untuk tujuan penghancuran.
Mereka adalah orang-orang yang menganut slogan "tujuan
menghalalkan segala cara". Semua yang jelek menurut akal dan
terlarang menurut syariat dibolehkan oleh mereka untuk meraih
tujuan-tujuan mereka yang destruktif. Ada pendapat yang memandang
bahwa mereka sama saja dengan orang yang menempuh taqiyah sebagai
senjata pertahanan agar selamat dari kejahatan pihak lain. Sehingga
ia tidak dibunuh atau dibinasakan, harta dan rumah mereka tidak
dirampas, hingga Allah memutuskan perkara yang lain. Namun, pendapat
itu muncul dari perasaan yang berlawanan dari hal seperti itu. Kaum
Muslim yang tinggal di Uni Soviet (dulu) telah mendapat bencana dan
cobaan yang menurut akal tidak mungkin mereka dapat menanggungnya.
Kaum komunis selama kekuasaan mereka atas wilayah-wilayah Islam telah
menunjukkan permusuhan kepada kaum Muslim. Mereka merampas harta,
tanah, tempat tinggal, masjid, dan sekolah kaum Muslim, serta
membakar perpustakaan-perpustakaan. Mereka membunuh banyak kaum
Muslim dengan cara yang sangat keji. Tidak ada yang dapat
menyelamatkan diri dari kebiadaban mereka kecuali orang yang menempuh
taqiyah dengan menampakkan sikap yang f1eksibel, menyembunyikan
ritus-ritus agama, dan melaksanakan salat di dalam rumah hingga Allah
menyelamatkan mereka dengan meruntuhkan kekuatan kafir tersebut. Maka
kaum Muslim muncul kembali di atas pentas. Mereka menguasai tanah dan
wilayah mereka. Mereka mulai menampakkan kembali kemuliaan dan
keagungan mereka sedikit demi sedikit. Hal itu merupakan salah satu
dari buah-buah taqiyah yang disyariatkan dan diperkenankan Allah SWT
kepada para hamba-Nya sebagai anugerah dan kemuliaan-Nya kepada
orang-orang yang tertindas.


Apabila demikian makna dan pengertian taqiyah, dan seperti itu maksud dan tujuannya,
maka itu adalah sesuatu yang bersifat fitrah yang didambakan akal dan
hati manusia sebelum segala sesuatu. Taqiyah mengajak manusia kepada
fitrahnya. Untuk itu, taqiyah digunakan oleh orang yang diuji dengan
tindakan penguasa dan pemerintahan yang tidak menghargai sesuatu apa
pun selain ide, pemikiran, ambisi, dan kekuasaan mereka sendiri.
Mereka tidak segan-segan untuk menimpakan bencana kepada setiap orang
yang menentang mereka dalam hal itu. Mereka tidak membedakan antara
Muslim-penganut Syi’ah ataupun Ahlusunah-dan selain Muslim.
Dari sini, tampaklah fungsi dan faedah taqiyah.


Untuk mendukung prinsip kehidupan ini, kami mengkaji dalil-dalilnya dari Al-Qur'an
dan sunah. 


Dalil A1-Qur'an dan Sunah


Taqiyah disyariatkan dengan nas A1-Qur'an. Banyak ayat Al-Qur'an yang akan kami coba
menjelaskannya dalam halaman- halaman berikut: 

Ayat pertama 

Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah
dia beriman
( dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan
( dia
tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar:
" (QS. an-Nahl [16]: 106)


Anda perhatikan, bahwa A1lah SWT membolehkan sikap menampakkan kekafiran karena
terpaksa dan menuruti orang-orang kafir karena takut kepada mereka.
Namun, dengan syarat hati tetap tenang dalam keimanan. Hal itu
dijelaskan oleh sejumlah mufasir baik klasik maupun kontemporer. Kami
akan berusaha mengetengahkan pendapat-pendapat sebagian dari mereka
untuk menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele. Bagi
siapa yang ingin mengetahuinya lebih jauh, silakan merujuk pada
beberapa kitab tafsir.


I. Ath- Thabrasi berkata, “Ayat itu turun berkenaan dengan sekelompok orang yang
dipaksa untuk menjadi kafir. Mereka adalah ‘Ammar, ayahnya
Yasir, dan ibunya Sumayah. Kedua orang tua ‘Ammar dibunuh
karena mereka tidak menampakkan sikap kekafiran. Sedangkan ‘Ammar
menampakkan kepada mereka apa yang mereka kehendaki. Karenanya,
mereka me- lepaskannya. Kemudian ‘Ammar memberitahukan hal itu
kepada Rasulullah saw, dan berita itu tersebar di tengah kaum Muslim.
Maka orang-orang mengatakan bahwa ‘Ammar telah menjadi kafir.
Tetapi Rasulullah saw menjawab, "Sama sekali tidak, ‘Ammar
telah dipenuhi keimanan dari ubun-ubunnya hingga telapak kakinya.
Keimanan itu telah bercampur dengan daging dan darahnya."


Berkenaan dengan itu, turun ayat di atas dan. ‘Ammar pun menangis. Maka
Rasulullah saw mengusap kedua matanya sambil bersabda, "Kalau
mereka mengulangi tindakan serupa kepadamu, maka ulangilah apa yang
engkau ucapkan itu."


2. Az-Zamakhsyari berkata, "Diriwayatkan bahwa beberapa orang penduduk Makkah
disiksa. Karenanya, mereka keluar dari Islam setelah mereka
menganutnya. Di antara mereka ada yang dipaksa lalu kata-kata
kekafiran mengalir pada lisannya, sementara ia tetap teguh dalam
keimanannya. Di antara mereka adalah ‘Ammar bin yasir dan kedua
orang tuanya, yaitu yasir dan Sumayyah, serta Shuhaib, Bilal, dan
Khabab.


Adapun ‘Ammar menampakkan kepada mereka apa yang mereka kehendaki dengan lisannya
secara terpaksa 
3. AI-Hafizh bin Majah berkata: AI-Ita' artinya al-i’tha'. Yaitu, mereka menampakkan persetujuan pada keinginan orang- orang
musyrik itu sebagai sikap taqiyah. Taqiyah dalam hal ini dibolehkan
berdasarkan firman Allah SWT, "...
kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan.
"


(QS. an-Nahl [16]: 106)


4. Al-Qurthubi berkata: Al-Hasan berkata, "Taqiyah itu dibolehkan bagi manusia
hingga hari kiamat." Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa
agar menjadi kafir sehingga ia takut dirinya akan dibunuh, ia tidak
berdosa untuk menampakkan kekafiran tetapi hatinya tetap tenang dalam
keimanan, ia tidak bercerai dari istrinya dan tidak dihukumi sebagai
orang kafir. Ini adalah pendapat Malik. para ulama Kufah dan
asy-Syafi'i.


5. Al-Khazin berkata: Taqiyah tidak dilakukan kecuali ketika ada
ketakutan akan dibunuh dan dengan niat yang baik. Allah swt
berfirman. "...
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam keimanan..
(QS. an-Nahl [16]: 106). la
tidak berdosa. karena tempat bagi keimanan ialah di dalam hati.


6. Al-Khathib asy-Syarbini berkata, kecuali orang-orang dipaksa
kafir,
yakni untuk mengucapkannya ...padahal hatinya tetap
tenang dalam keimanan.
Tidak apa-apa ia melakukannya. karcna
tempat keimanan adalah di dalam hati.


7. Isma’il Haqqi berkata: ...kecuali orang yang dipaksa ...
la dipaksa untuk mengucapkan kata-kata itu karena takut akan
ditimpakan sesuatu pada diri atau salah satu anggota tubuhnya. Sebab,
kekafiran itu adalah keyakinan. Sedangkan pemaksaan untuk mengucapkan
kata-kata itu bukan keyakinan. Jadi, makna ayat itu adalah “Akan
tetapi, orang yang dipaksa terhadap kekafiran dengan lisannya".
...padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan ...Akidahnya
tidak berubah. Itu merupakan dalil bahwa keimanan yang benar dan
diakui di sisi Allah adalah pembenaran
(tashdiq) dengan hati.


Ayat kedua: 


Allah swt berfirman, Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin.
Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, Dan
hanya kepada Allah kamu kembali.
" (QS. Ali 'Imran [3]: 28)


Pendapat para mufasirtentang ayat ini sudah cukup jelas dan tidakmemerlukan
penjelasan lagi.


I. Ath- Thabari berkata, ". ..kecuali karena memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
" Abu al-‘A1iyah
berkata, "Taqiyah itu dalam lisan, bukan dengan perbuatan."
Diriwayatkan dari al-Hasan: Saya mendengar Abu Mu’adz berkata:
‘Ubaid mengabarkan kepada kami. la berkata: Saya mendengar
adh-Dhahak berkata tentang firman Allah, “
kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka
,"
"Taqiyah dalam lisan adalah orang yang dipaksa untuk mengucapkan
sesuatu yang merupakan kemaksiatan kepada Allah. la mengucapkannya
karena takut akan ditimpakan bahaya pada dirinya. "...
padahal
hatinya tetap tenang dalam keimanan
...,maka ia tidak berdosa.
Sesungguhnya taqiyah itu dalam lisan.


2. Az-Zamakhsyari ketika menafsirkan firman Allah SWT: ... kecuali
karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka
...berkata, "Yaitu keringanan bagi mereka di tengah muwaltat apabila takut kepada para penguasa mereka. Yang dimaksud dengan muwalat adalah perbedaan dan pergaulan secara lahiriah.
Sedangkan hatinya teguh dalam permusuhan dan kebencian, dan menunggu
hilangnya rintangan.


3. Ar-Razi, ketika menafsirkan firman Allah SWT: ...kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka
...,
berkata, "Masalah
keempat Ketahuilah, bahwa taqiyah
memiliki banyak ketentuan. Kami akan menyebutkan sebagiannya sebagai
berikut:


a. Taqiyah hanya dilakukan apabila seseorang berada di tengah kaum yang kafir, dan ia
takut mereka akan menimpakan bahaya terhadap diri dan hartanya. Maka
ia bersikap halus kepada mereka dalam ucapan, yaitu tidak menampakkan
permusuhan dalam ucapan. Bahkan ia juga boleh menampakkan ucapan yang
menunjukkan kecintaan dan kesetiaan.


"Akan tetapi, dengan syarat menyembunyikan sikap sebaliknya dan
mengingkari setiap kata yang diucapkannya. Taqiyah itu
memiliki pengaruh pada lahir, bukan dalam keadaan- keadaan hati.


b. Taqiyah itu dibolehkan untuk memelihara diri. Apakah taqiyah juga boleh dilakukan
untuk memelihara harta? Kemungkinan hal itu diperbolehkan berdasarkan
sabda Rasulullah saw: "Kemuliaan harta seorang Muslim adalah
seperti kemuliaan darahnya. Juga sabdanya: "Barangsiapa yang
terbunuh dalam membela hartanya, ia mati syahid."


4. An-Nasafi berkata, "... kecuali karena memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka
" Artinya, kecuali kamu
takut terhadap kebijakan mereka sebagai sesuatu yang mendatangkan
ketakutan. Yakni, agar orang kafir itu tidak memiliki kekuasaan atas
dirimu. Sehingga engkau takut ia menimpakan bahaya kepada diri dan
hartamu. Maka ketika itu, kamu boleh menampakkan kesetiaan dan
menyembunyikan permusuhan.


5. Al-Alusi berkata: Dalam ayat itu terdapat dalil disyariatkannya taqiyah. Mereka
mendefinisikannya sebagai memelihara diri, kehormatan, atau harta
dari kejahatan musuh. Musuh itu ada dua bagian sebagai berikut:


a. Permusuhan yang didasarkan pada perbedaan agama, seperti orang kafir dan Muslim.


b. Pennusuhan yang didasarkan pada tujuan-tujuan keduniaan, seperti harta dan kekuasaan.


6.Jamaluddin al-Qasimi berkata: Terhadap ayat ini: ...kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka
... para
imam (mazhab) menyimpulkan bahwa taqiyah disyariatkan ketika ada
ketakutan. Ijmak tentang bolehnya melakukan taqiyah ketika takut
telah dinukil oleh Imam al-Murtadha al-Yamani dalam kitabnya
Itsar
al-Haqq 'ala al-Khalq.


7.Tentang ayat: ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka
, al-Maraghi menafsirkan, "Yakni, kaum
Mukmin meninggalkan kesetiaan kepada orang-orang kafir merupakan
suatu keharusan dalam setiap keadaan kecuali ketika takut mereka akan
menimpakan suatu bahaya. Maka ketika itu, kamu boleh melakukan
taqiyah rnenurut kadar ketakutan terhadap bahaya itu. Sebab, kaidah
syariat rnengatakan, 'Meninggalkan kerusakan lebih didahulukan
daripada rnendatangkan kebaikan."


Jika kesetiaan kepada mereka dibolehkan karena takut akan datang bahaya dari mereka.
Maka lebih utama, jika hal itu untuk mendatangkan manfaat bagi kaum
Muslim. Jadi, tidak ada salah- nya negara Muslim bersekutu dengan
negara bukan Muslim untuk mendatangkan manfaat, baik dengan menolak
bahaya atau mendatangkan manfaat. Kesetiaan itu bukan-dalam sesuatu
yang mendatangkan bahaya bagi kaum Muslim. Kesetiaan seperti itu
tidak khusus dilakukan dalam keadaan lemah, melainkan juga boleh
dilakukan dalam setiap saat.


Para ulama telah menarik kesimpulan dari ayat ini, bahwa boleh melakukan taqiyah.
Yaitu, seseorang mengatakan atau melakukan apa yang bertentangan
dengan kebenaran karena menghindari bahaya dari musuh yang akan
ditimpakan kepada diri, kehormatan, atau hartanya.


Barangsiapa yang mengucapkan kata-kata kekafiran karena terpaksa untuk memelihara
diri dari kematian, sementara hatinya tetap teguh dalam keimanan, ia
tidak menjadi kafir. Melainkan ia dimaafkan, sebagaimana yang
dilakukan ‘Ammar bin yasir ketika ia dipaksa oleh orang-orang
Quraisy agar menjadi kafir. Maka ia melakukannya dengan terpaksa,
sementara hatinya tetap dipenuhi keimanan. Berkenaan dengan itu,
turunlah ayat,
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah
dia beriman
( dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia
tidak berdosa).
"


Kalimat-ka1imat dan ungkapan-ungkapan yang begitu jelas ini, tidak memberi peluang lagi
untuk orang mengatakan kecuali menetapkan disyariatkannya taqiyah
dalam pengertian yang telah Anda ketahui. Bahkan, seseorang tidak
akan menemukan seorang mufasir atau ahli fiqih pun yang mengetahui
pengertian dan tujuan taqiyah merasa ragu dalam nenetapkan bolehnya
taqiyah. Sebagaimana Anda, wahai pembaca yang mulia, tidak menemukan
seseorang yang sadar tidak melakukan taqiyah dalam kondisi- kondisi
sulit selama hal itu tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Hal itu akan saya jelaskan dalam penjelasan tentang batasan-batasan
taqiyah.


Adapun orang yang menentang bolehnya taqiyah atau yang berlebih-lebihan dalam
melakukannya, semata-mata menafsirkannya dengan taqiyah yang telah
populer di kalangan anggota organisasi-organisasi bawah tanah dan
aliran-aliran destruktif, seperti aliran kebatinan dan sebagainya.
Padahal, seluruh kaum Muslim berlepas diri dari taqiyah yang bersifat
destruktif seperti ini.


Ayat ketiga


"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun
yang menyembunyikan imannya berkata, apakah kamu akan membunuhseorang
laki-laki karena dia mengatakan, "Tuhanku adalah Allah.
" Padahal, dia telah datang kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka
dialah yang menanggung
( dosa) dustanya itu. Dan jika ia
seorang yang benar; niscaya sebagian (bencana) yang diancamkan
kepadamu akan menimpamu.
" Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta
,"
(QS. al-Mu'min [40]: 28)


Sedangkan akibat dari perbuatannya itu adalah, "Maka Allah
memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir'aun beserta
kaumnya dikeu,ng oleh azab yang amat buruk.
" ( QS.
al-Mu'min [ 40] : 45 )


Tiada lain, selain karena dengan taqiyah orang itu, Nabi A1lah itu dapat
selamat dari kematian. Allah swt berfirrnan,
"la berkata,
'Wahai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang
kamu untuk membunuhmu. Sebab itu, keluarlah (dari kota ini).
Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.
", (QS. al-Qashash [28J: 20)


Ayat-ayat di atas menunjukkan bolehnya taqiyah untuk menyelamatkan orang Mukmin dari
kejahatan musuh yang kafir.

Taqiyah Muslim terhadap Muslim yang Lain dalam Kondisi Tertentu


Walaupun ayat-ayat di atas turun berkenaan dengan taqiyah orang Muslim terhadap orang
kafir, namun pengertian ayat itu tidak dikhususkan dengan sebab
turunnya. Sebab, bukanlah tujuan disyariatkannya taqiyah ketika
mendapat ujian dengan tindakan orang-orang kafir kecuali untuk
memelihara diri dari kejahatan. Jika seorang Muslim diuji dengan
tindakan saudaranya sesama Muslim yang berbeda pendapat dalam
beberapa furu', dan pihak yang kuat tidak segan-segan menindas pihak
yang lemah, seperti membunuh atau merampas hartanya, dalam
kondisi-kondisi sempit itu akal sehat memutuskan untuk memelihara
diri dengan menyembunyikan akidah dan menempuh taqiyah. Kalaupun
dalam hal itu ada dosa, maka dosa itu adalah bagi orang yang
kepadanya ditujukan taqiyah, bukan kepada orang yang melakukannya.
Kalau kebebasan menjamin semua kelompok Islam, dan setiap kelompok
menghargai pendapat kelompok lain karena mengetahui bahwa pendapat
itu merupakan ijtihadnya, tentu tidak seorang pun dari kaum Muslim
yang terpaksa untuk menempuh taqiyah. Pada gilirannya, keharmonisan
akan menggantikan perselisihan.


Sebagian besar ulama memahami seperti itu dan menjelaskannya. Berikut ini penjelasan dari
sebagian mereka:


I. Imam ar-Razi dalam menafsirkan firman Allah swt; ...kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka
..."
mengatakan: Makna lahiriah ayat itu menunjukkan bahwa taqiyah hanya
dibolehkan dilakukan terhadap orang-orang kafir yang merupakan
mayoritas. Namun, Imam asy-Syafi'i ra berkata: "Jika keadaan di
tengah sesama kaum Muslim sama dengan keadaan antara kaum Muslim dan
kaum kafir, taqiyah itu dibolehkan untuk melindungi diri." la
mengatakan, "Taqiyah itu dibolehkan untuk memelihara diri."
Tetapi, apakah taqiyah juga dibolehkan untuk memelihara harta?
Kemungkinan hal itu dibolehkan berdasarkan sabda Rasulu1lah saw:
"Kemuliaan harta seorang Muslim seperti kemuliaan darahnya."
Selain itu, beliau juga pernah bersabda, "Barangsiapa terbunuh
karena mempertahankan hartanya, ia mati syahid."


2. Jamaluddin al-Qasimi menukil hadis dari Imam Murtadha al- Yamani
dalam kitabnya
Itsar al-Haqq 'ala al-Khalq. Teksnya sebagai
berikut: "Bekal kebenaran yang samar dan tersembunyi ada dua
hal.
Pertama, ketakutan para arif-dengan jumlah mereka yang
sedikit-kepada para ulama yang jahat dan penguasa yang lalim dengan
bolehnya menempuh taqiyah dalam hal itu adalah disyariatkan dalam
Al-Qur’an dan ijmak kaum Muslim. Hal itu selama ketakutan
tersebut masih menjadi perintang untuk menampakkan kebenaran dan
orang yang benar masih dipandang musuh oleh kebanyakan orang. Telah
diriwayatkan hadis sahih dari Abu Hurairah ra bahwa-pada masa awal
Islam-ia berkata, "Saya menjaga dua bejana dari Rasulullah saw.
Yang pertama, saya sebarkan kepada orang-orang, sedangkan yang
kedua,jika saya menyebarkannya, tentu tenggorokan ini akan terputus.”


3. Dalam menafsirkan ayat, "Barangsiapa yang kafir kepada Allah
setelah dia beriman (dia mendapat kemumaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan,
"
al-Maraghi berkata, "Termasuk ke da1am taqiyah adalah
menampakkan kekafiran, kelaliman, dan kefasikan, serta melembutkan
perkataan, tersenyum, dan menyumbangkan harta kepada mereka. Niscaya
ha1 itu dapat menahan tindakan keras mereka dan memelihara kehormatan
dari tindakan mereka. Ha1 itu tidak termasuk da1am kesetiaan (
muwtilat) yang dilarang.


Bahkan hal itu disyariatkan. Ath- Thabrani telah meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
"Sesuatu yang digunakan untuk memelihara kehormatan seorang
Mukmin adalah sedekah."


Kaum Syi'ah melakukan taqiyah terhadap orang-orang kafir dalam
kondisi-kondisi tertentu untuk tujuan yang sama dengan tujuan yang
dilakukan kaum Ahlusunah. Selain itu, karena sebab- sebab yang jelas,
seorang Syi'ah melakukan taqiyah kepada saudaranya yang Muslim. Hal
itu bukan karena sikap melampaui batas pada orang Syi'ah, melainkan
saudaranya yang memaksa ia melakukan hal itu. Sebab, ia menyadari
bahwa pengusiran dan pembunuhan pasti ditimpakan kepadanya apabila ia
menampakkan keyakinannya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
dan akidah Islam. Memang, hingga saat ini, orang Syi 'ah menghindari
untuk mengatakan bahwa Allah itu tidak memiliki arah atau bahwa Dia
tidak terlihat pada hari kiamat, serta dalam perujukan
(marja'iyah) keilmuan dan politik adalah kepada ahlulbait sepeninggal Nabi saw
atau bahwa hukum mut'ah tidak dihapus. Apabila orang Syi'ah
menampakkan kebenaran-kebenaran ini- yang bersumber dari Al-Qur'an
dan sunah-dirinya akan terancarn bencana danbahaya. Telah dikemukakan
kepada Anda pendapat ar-Razi, Jamaluddin al-Qasimi, dan al-Maraghi
yang begitu jelas tentang bolehnya melakukan taqiyah jenis ini. Maka
mengkhususkan taqiyah dengan taqiyah terhadap orang kafir semata
merupa- kan kejumudan terhadap makna lahiriah ayat, menutup pintu
pemahamannya, penolakan terhadap substansinya yang telah disyariatkan
untuk taqiyah, dan meniadakan hukum akal yang menetapkan untuk
menjaga yang paling penting apabila tampak yang penting.


Sejarah kita mengemukakan tentang sejumlah pemuka kaum Muslim yang menempuh
taqiyah dalam kondisi-kondisi sulit atau ketika kehidupan dan segala
yang mereka miliki terancam kebinasaan. Contoh yang paling baik untuk
itu adalah yang dikemukakan ath-Thabari dalam kitab tarikhnya
(7/195-206) tentang usaha al-Ma'mun untuk memaksa para hakim dan ahli
hadis di zamannya untuk menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Se--
hingga untuk itu mereka diancam akan dibunuh semuanya tanpa belas
kasihan. Ketika para ahli hadis itu melihat pedang terhunus, mereka
memenuhi keinginan al-Ma'mun dan menyembunyikan akidah mereka. Ketika
mereka dicela karena berpendapat sesuai dengan keinginan al-Ma’mun,
mereka membenarkan tindakan mereka dengan menganalogikannya pada
perbuatan ‘Ammar bin yasir ketika dipaksa untuk menjadi musyrik
sementara hatinya tenang dalam keimanan. Kisah ini sangat terkenal
dan sangat jelas tentang bolehnya menempuh taqiyah yang mendorong
sebagian orang menimpakan celaan kepada kaum Syi’ah.
Seakan-akan mereka itu orang-orang yang mengada-adakannya dari
pemikiran mereka sendiri tanpa dilandasi kaidah dan prinsip-prinsip
Islam.


Kondisi-kondisi Sulit yang Dilalui Kaum Syi'ah yang mendorong kaum Syi'ah untuk
melakukan taqiyah terhadap saudara mereka dan para penganut agama
mereka hanyalah karena ketakutan terhadap kekuasaan yang tiran. Kalau
dalam masa-masa lalu-dari masa dinasti Umayah, kemudian Abbasiyah dan
Utsmaniyah-tidak ada tekanan terhadap kaum Syi'ah, serta negeri dan
rumah mereka tidak dialiri darah mereka dan sejarah merupakan bukti
paling baik untuk itu, maka adalah masuk akal kalau kaum Syi'ah
melupakan kata taqiyah dan membuangnya dari catatan kehidupan mereka.
Akan tetapi, sayang sekali, kebanyakan saudara mereka tunduk kepada
kekuasaan Dinasti Umayah dan Abbasiyah yang memandang mazhab Syi'ah
sebagai bahaya yang mengancam kedudukan mereka. Maka masyarakat
Ahlusunah membangkitkan permusuhan terhadap kaum Syi 'ah dengan
membunuh dan mengintimidasi mereka. Oleh karena itu, sebagai akibat
kondisi-kondisi sulit itu, kaum Syi'ah, bahkan setiap orang yang
memiliki sedikit saja akal, tidak memiliki cara lain kecuali
berlindung pada taqiyah atau mengangkat tangan dari prinsip-prinsip
suci yang menurut mereka lebih berharga daripada diri dan harta.


Bukti-bukti tentang hal itu lebih banyak daripada yang dapat dihitung. Namun,
kami akan membentangkan sebagiannya secara ringkas. Di antaranya,
surat Mu'awiyah yang menghalalkan darah kaum Syi'ah di mana saja
mereka berada dan bagaimanapun keadaan mereka. Berikut ini teks
tentang peristiwa tersebut yang disebutkan dalam sumber-sumber
rujukan untuk mengetahui bencana yang menimpa kaum Syi'ah.


Penjelasan Mu'awiyyah kepada para Pegawainya


Abu al-Hasan ‘Ali bin Abi Sayf al-Mada 'ini meriwayatkan hadis
dalam kitabnya
al-Ahdats. la berkata, "Mu.awiyah menulis
selembar surat kepada para pegawainya: 'Batalkanlah jaminan terhadap
orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Turab dan ahlulbait- nya.' Maka
para khatib di setiap desa dan di atas setiap mimbar melaknat ' Ali
dan berlepas diri darinya. Mereka mencacinya beserta ahlulbaitnya.
Orang-orang yang mendapat bencana paling besar ketika itu adalah
masyarakat Kufah, karena banyak di antara mereka yang menjadi
pengikut 'Ali as. Ziyad bin Sumayah diangkat menjadi gubernur Kufah
yang telah digabungkan dengan Basrah. la mengetahui betul para
pengikut Syi’ah karena ia adalah penduduk daerah itu pada masa
kekhalifahan 'Ali as. Maka ia membunuh mereka di bawah setiap batu
dan lumpur, mengamcam mereka, memotong tangan dan kaki mereka,
mencongkel mata mereka, menyalib mereka di pohon kurma, dan mengusir
mereka dari lrak. Maka tidak ada lagi yang tersisa dari mereka.
Mu'awiyah mengirim surat kepada para pegawainya di seluruh wilayah
agar tidak memberikan kesaksian kepada siapa pun pengikut 'Ali dan
ahlulbaitnya."


Kemudian ia mengirim selembar surat kepada para pegawainya di seluruh wilayah,
"Perhatikanlah, barangsiapa yang terbukti bahwa ia mencintai
'Ali dan ahlulbaitnya, maka hapuslah ia dari buku catatan (Baitul
Mal), dan hentikanlah pemberian dan bagi- annya." Hal itu
ditegaskan dengan surat yang lain, "Siapa saja yang kalian duga
setia kepada mereka, maka hukumlah dan hancurkan rumahnya."
Tidak ada bencana di lrak, terutama di Kufah. yang lebih besar
daripada itu. Sehingga pengikut 'Ali as didatangi oleh orang yang
dipercayainya lalu menyampaikan rahasianya, tetapi ia sendiri takut
kepada pelayan dan budak orang itu. la tidak menyampaikannya sebelum
orang itu benar-benar bersumpah untuk merahasiakannya.


Ibn Abi al-Hadid menambahkan, "Hal itu terus berlangsung hingga al-Hasan bin '
Ali as Wafat. Maka bencana dan ujian semakin besar. Tidak tersisa
seorang pun dari pihak ini kecuali terancam nyawanya atau diusir dari
negerinya.


Kemudian bencana itu memuncak setelah al-Husain as wafat dan 'Abd al-Malik bin Marwan
menjadi khalifah. Maka semakin besar bencana yang ditimpakan kepada
kaum Syi'ah. Ketika al- Hajjaj bin Yusuf berkuasa, para ulama
mendekatinya dengan menampakkan kebencian kepada ' Ali dan kesetiaan
kepada musuh- musuhnya serta kesetiaan kepada sebagian orang yang
mengaku bahwa mereka pun adalah musuhnya. Para ulama itu membuat
banyak riwayat tentang keutamaan mereka dan menyebarkan kebencian,
cacian, dan celaan kepada ' Ali as. Sehingga ada seseorang yang
berdiri di hadapan al-Hajjaj-dikatakan bahwa ia adalah kakeknya
al-Ashma'i-, 'Abd al-Malik bin Quraib bin Quraib. la berteriak, "Hai
Amir, keluargaku sangat membenciku. Maka mereka menamaiku ' Ali. Aku
ini seorang fakir. dan sangat berhajat pada hubungan dengan tuan."
Maka al-Hajjaj tertawa dan berkata, "Sungguh bagus caramu
mencari perantara. Aku mengangkatmu untuk memimpin daerah anu."


Akibatnya, kaum Syi'ah menyaksikan pembunuhan keji oleh para penguasa yang lalim.
Maka ribuan di antara mereka terbunuh. Adapun sebagian dari mereka
yang masih hidup diancam dengan berbagai bentuk ancaman dan teror.
Yang pantas disebutkan, di antara hal-hal yang menakjubkan, kelompok
ini dapat terus bertahan kendati menghadapi kelaliman yang besar dan
pembunuhan yang keji. Bahkan yang sangat mengherankan, Anda mendapati
kelompok ini terus bertambah kuat, dapat mendirikan pemerintahan,
membangun peradaban, dan banyak dari mereka yang muncul sebagai ulama
dan pakar.


Kalau saudara yang Sunni memandang taqiyah sebagai sesuatu yang haram, maka hilangkanlah
tekanan terhadap sudaranya yang Syi'ah dan tidak mempersempit
kebebasan yang diperkenankan Islam kepada para pemeluknya. Hendaklah
diberikan kebebasan kepadanya dalam menjalankan akidah dan amalannya.
Sebagaimana diberikan kebebasan kepada banyak orang yang menyimpang
dari Al-Qur'an dan sunah, serta menumpahkan darah dan merampas tempat
tinggal, apalagi kepada kelompok yang memeluk agama yang sama dan
sepakat dengannya dalam banyak ajaran akidahnya. Kalau Mu'awiyyah dan
para pembantunya serta Dinasti Abbasiyyah semuanya dianggap sebagai
telah berijtihad dalam menyiksa dan menumpahkan darah orang-orang
yang menentang mereka, maka apa yang menghalanginya untuk memberikan
kebebasan kepada kaum Syi'ah dengan menganggap mereka telah
berijtihad (dalam melakukan taqiyah-penj.).


Apabila mereka mengatakan-dan itu sesuatu yang aneh- bahwa orang-orang yang
memberontak terhadap Imam 'Ali as tidak merusak rasa keadilan
orang-orang yang memberontak tersebut. Yang di antara pemukanya
adalah Thalhah, az-Zubair, dan Ummul Mukininin 'Aisyah. Dan bahwa
tersebamya fitnah di Shiffin-yang berakhir dengan terbunuhnya banyak
sahabat dan tabi'in serta tertumpahnya darah ribuan orang lrak dan
Syam tidak mengurangi sedikit pun kewaraan orang-orang yang saling
berperang itu. Bahkan setelah itu mereka dipandang sebagai mujtahid
dan dimaafkan. Mereka memperoleh pahala orang yang berijtihad
walaupun keliru dalam ijtihadnya. Maka mengapa mereka tidak bergaul
dengan kaum Syi'ah berdasarkan prinsip ini dan berpendapat bahwa
mereka itu dimaafkan dan memperoleh pahala?


Memang, taqiyah di kalangan kaum Syi'ah kadang-kadang meningkat intensitasnya dan
kadang-kadang berkurang bergantung pada kuat dan lemahnya intimidasi
(yang ditujukan kepada mereka). Terdapat perbedaan besar antara zaman
al-Ma'mun yang membolehkan orang-orang memuji ahlulbait dan
memuliakan kaum 'Alawi, dan zaman al Mutawakkil yang memotong lidah
orang- orang yang menyebut keutamaan mereka.


Inilah Ibn as-Sikkit, salah seorang sastrawan pada zaman al- Mutawakkil.
Al-Mutawakkil telah memilihnya menjadi guru bagi kedua putranya. Pada
suatu hari, al-Mutawakkil bertanya kepadanya, "Siapakah yang
engkau cintai, kedua putraku atau al-Hasan dan al-Husain? ‘Ibn
as-Sikkit menjawab, "Demi Allah, Qanbar, pelayan ‘Ali as
lebih baik daripadamu dan kedua putramu”. Maka al-Mutawakkil
berkata (kepada para pengawalnya) , "Potonglah lidahnya dari
tengkuknya”. Kemudian mereka melakukannya hingga sastrawan
wafat. Peristiwa itu terjadi pada malam Senin tanggal 5 Rajab 244 H.
Ada juga yang mengatakan, tahun 243 H. Ketika itu umurya 28 tahun.
Ketika ibn as-Sikkit wafat, al-Mutawakkil mengirimkan uang sepuluh
ribu dirham kepada putra Ibn as-Sikkit, Yusuf. la mengatakan. "Ini
adalah diyat (denda) atas kematian ayahmu”


Ibn ar-Rumi. seorang penyair 'Abqari, dalam qashidahnya yang
berisi ratapan
(ratsa), atas kematian Yahya bin ‘Umar
bin al-Husain bin Zaid bin ‘Ali. mengatakan:


Apakah di setiap waktu ada korban suci dari keluarga Nabi Muhammad yang gugur
berlumuran darah


Wahai Bani Muhammad, berapa banyak sudah manusia memangsa jasadmu


Sabarlah, tak lama lagi akan datang penolong untuk musibahmu Apakah setelah Husain
menjadi syahid pelita-pelita di langit


masih akan bercahaya terang dan memberi petunjuk?


Jika demikian keadaan keturunan Nabi saw, maka bagaimana halnya dengan para
pengikut mereka dan orang-orang menapaki jejak-jejak mereka?


Allamah asy-Syahristani berkata, "Taqiyah adalah syiar setiap orang yang
lemah dan terampas kebebasannya. Syi'ah lebih terkenal akan
taqiyahnya daripada yang lain. Sebab, Syi’ah terus-menerus
diuji dengan tekanan yang lebih besar daripada tekanan yang
ditimpakan kepada umat yang lain. Kebebasannya dirampas pada seluruh
masa Daulah Umayah, sepanjang masa Dinasti Abbasiyah, dan selama
beberapa masa Daulah Utsmaniyah. Oleh karena itu, mereka menyiarkan
taqiyah lebih gencar daripada yang dilakukan kaum yang lain. Ketika
Syi 'ah berbeda dari kelompok-kelompok yang bertentangan dengannya
dalam bagian penting akidah, ushuluddin, dan banyak hukum-hukum
fiqih, perbedaan itu secara alami memunculkan pengawasan (dari pihak
musuh-penj.). Pengalaman membenarkan ha1 itu. Oleh karena itu,
pengikut para imam ahlulbait selama waktu yang lama terpaksa me-
nyembunyikan tradisi, akidah, fatwa, kitab, atau yang lainnya yang
berbeda dengan kelompok yang lain. Dengan cara ini mereka melindungi
diri dan memelihara kecintaan dan persaudaraan dengan saudara-saudara
sesama kaum Muslim, agar tonggak ketaatan tidak patah dan agar
orang-orang kafir tidak merasakan adanya perbedaan apa pun dalam
masyarakat Islam sehingga mereka memperlebar jurang perbedaan itu di
tengah umat Muhammad.


Untuk tujuan-tujuan suci ini, Syi’ah menggunakan taqiyah dan memelihara
persetujuannya secara lahiriah dengan kelompok-kelompok lain. Dalam
hal itu mereka mengikuti perilaku para imam dari keluarga Muhammad
dan hukum-hukum mereka yang teguh tentang wajibnya taqiyah, karena
"Taqiyah adalah agamaku dan agama leluhurku". Sebab, agama
Allah berja1an di atas sunnah taqiyah bagi orang-orang yang terampas
kebebasannya. Hal itu berdasarkan dalil-dalil dari ayat-ayat
Al-Qur'an.


Diriwayatkan dari orang-orang terpercaya dari ahlulbait as dalam atsar yang sahih:
"Taqiyah adalah agamaku dan agama leluhurku" Barangsiapa
yang tidak bertaqiyah, tidak ada agama baginya."


Taqiyah, merupakan syiar ahlulbait as untuk menolak bahaya dari mereka dan para pengikut
mereka, dan melindungi darah mereka. Selain itu, taqiyah dilakukan
untuk memperbaiki keadaan kaum Muslim, berpartisipasi dengan mereka,
dan menyatukan kembali mereka. Hal itu senantiasa menjadi tanda yang
dikenal Syi’ah Imamiyah yang berbeda dari kelompok-kelompok dan
umat-umat lainnya. Jika setiap orang merasakan adanya bahaya atas
diri atau hartanya disebabkan tersebar keyakinannya atau ia
menampakkannya, ia harus menyembunyikannya dan melakukan taqiyah pada
tempat-tempat yang berbahaya itu. Ini sesuatu yang dituntut fitrah
dan akal.


Seperti telah diketahui, Syi’ah Imamiyah dan para imam mereka menghadapi
berbagai bentuk ujian dan perampasan kebebasan dalam semua generasi
yang tidak dialami oleh kelompok atau umat mana pun. Pada sebagian
besar generasi, mereka terpaksa melakukan taqiyah dalam pergaulan
mereka dengan orang-orang yang menentang mereka, tidak menampakkan
keyakinan, serta menyembunyikan akidah dan arna1an mereka yang
berbeda dengan orang lain. Sebab, jika tidak demikian, niscaya bahaya
menimpa mereka di dunia ini.


Untuk a1asan ini, mereka dikena1 dan dibedakan dari kelompok lain dengan taqiyah.


Taqiyah memiliki beberapa ketentuan dalam hal wajib dan tidak wajibnya berdasarkan
tingkat ketakutan akan bahaya. Perinciannya disebutkan dalam
kitab-kitab fiqih.

Batasan Taqiyah  Anda telah mengetahui pengertian dan
tujuan taqiyah serta dalilnya. Kini akan dijelaskan
batasan-batasannya.


Syi'ah dikenal dengan taqiyah. Mereka melakukan taqiyah dalam ucapan dan perbuatan.
Maka hal itu menjadi sumber kebingungan dalam benak orang-orang
bodoh. Mereka mengatakan bahwa karena taqiyah termasuk
prinsip-prinsip ajaran Syi'ah, maka tidak boleh bersandar pada semua
yang mereka ucapkan, mereka tulis, dan mereka sebarkan. Sebab, sangat
mungkin tulisan- tulisan itu merupakan pengakuan belaka, sedangkan
kenyataannya adalah sesuatu yang lain. Inilah yang berulang-ulang
kami dengar dari mereka.


Akan tetapi, kami mengajak pembaca yang mulia melihat bahwa taqiyah hanya dilakukan
dalam batasan masalah-masalah pribadi dan bersifat parsial ketika
merasakan ketakutan atas diri. Jika alasan-alasan menunjukkan bahwa
dalam menampakkan akidah atau mempraktekkan amalan menurut mazhab
ahlulbait kemungkinan akan mendatangkan bahaya kepada seorang Mukmin,
inilah salah satu kasusnya. Akal dan syariat menetapkan keharus- an
melakukan taqiyah sehingga hal itu akan melindungi dirinya dari
bahaya. Adapun hal-hal yang bersifat universal yang berada di luar
lingkup ketakutan, maka tidakdilakukan taqiyah. Tulisan-tulisan yang
tersebar tentang Syi'ah termasuk dalam bentuk terakhir ini. Sebab,
dalam hal itu tidak ada ketakutan untuk menulis sesuatu yang
berteniangan dengan yang diyakini. Padahal, tidak ada keharusan
(melakukan taqiyah) sama sekali dalam hal ini se- hingga ia diam dan
tidak menulis apa pun.


Apa yang mereka dakwakan bahwa tulisan-tulisan itu merupakan pengakuan belaka yang
tidak berdasar adalah bersumber dari sedikitnya pengetahuan mereka
terhadap hakikat taqiyah menurut Syi'ah. Alhasil, Syi'ah hanya
melakukan taqiyah pada suatu masa ketika tidak memeliki pemerintahan
yang melindungi mereka dan tidak ada kekuatan untuk menolak bahaya
dari mereka. Adapun pada masa kini, tidak diperkenankan dan tidak
dibenarkan me- lakukan taqiyah dalam kasus-kasus khusus.


Syi 'ah, seperti yang telah kami sebutkan, tidak berlindung pada taqiyah kecuali
setelah terpaksa untuk melakukan hal itu. ltulah yang benar. Saya
tidak yakin ada seorang pun yang melihat permasalahan-permasalahan
tersebut dengan akalnya, bukan dengan emosinya, akan menentang hal
itu. Kecuali, di antara hal- hal yang bisa diterima dalam sejarah
kesyiahan, ada pembatasan taqiyah dalam fatwa-fatwa; Taqiyah tidak
diterjemahkan ke dalam praktek kecuali sedikit sekali. Bahkan secara
praktis, mereka lebih banyak berkorban daripada orang lain. Hendaknya
setiap peneliti melihat sikap-sikap para pengikut Syi'ah terhadap
Mu'awiyah dan penguasa Dinasti Umayah lainnya, serta para penguasa
Dinasti Abbasiyah. Mereka itu seperti Hujur bin' Adi, Maitsam at-
Tammar, Rasyid al-Hijri, Kumail bin Ziyad, dan ratusan orang lainnya,
juga seperti sikap-sikap kaum ' Alawi sepanjang sejarah dan revolusi
mereka yang berkesinambungan.


Taqiyah yang Haram 


Berdasarkan hukumnya, taqiyah dibagi menjadi lima bagian. Sebagaimana wajib untuk
memelihara jiwa, kehormatan, dan harta, taqiyah juga haram dilakukan
apabila akan menimbulkan bahaya yang lebih besar, seperti hancumya
agama, tersembunyinya kebenaran bagi generasi-generasi selanjutnya,
penguasaan musuh terhadap urusan, kehormatan, dan tempat-tempat per-
ibadatan kaum Muslim. Oleh karena itu, Anda melihat bahwa kebanyakan
pemuka Syi'ah menolak melakukan taqiyah dalam beberapa masa. Mereka
mempersembahkan jiwa dan raga mereka sebagai korban untuk kepentingan
agama. Maka taqiyah itu me- miliki tempat-tempat tertentu. Selain
itu, taqiyah yang diharamkan juga memiliki tempat-tempat tertentu.


Pada dasamya, taqiyah adalah menyembunyikan sesuatu yang berbahaya untuk
ditampakkan hingga hilang bahaya tersebut. la merupakan jalan paling
utama untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan. Akan tetapi, hal itu
tidak berarti bahwa kaum Syi'ah itu pengecut, hilang kekuatan,
penakut, ragu untuk melangkah, dan penuh kehinaan. Sama sekali tidak.
Taqiyah itu memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
Sebagaimana ia wajib dalam suatu masa, ia pun haram pada masa yang
lain. Dalam hal dibolehkan dan dilarang, taqiyah tidak didasarkan
pada kekuatan dan kelemahan, melainkan didasarkan pada kepentingan
Islam dan kaum Muslim.


Imam Khomeini as pemah berkomentar tentang hal ini. Kami nukilkan teksnya hingga
pembaca mengetahui bahwa taqiyah memiliki ketentuan-ketentuan khusus
dan kadang-kadang dilarang dilakukan untuk kepentingan yang lebih
agung. Imam Khomeini a.s. berkata, "Taqiyah diharamkan dalam
beberapa larangan dan kewajiban-kewajiban yang dalam pandangan
Pembuat syariat menempati kedudukan yang tinggi, seperti penghancuran
Ka'bah dan kuburan-kuburan suci, penolakan terhadap Islam dan
Al-Qur'an, penafsiran yang dilakukan suatu mazhab yang sesuai dengan
ateisme dan larang-larangan utama lainnya. Hal itu tidak dapat
dijadikan dalil dan bukan suatu bentuk keterpaksaan untuk melakukan
taqiyah.


Hal itu ditunjukkan da1am Mu'tabarah Mus'addah bin Shidqah. Di situ dikatakan, "Setiap
sesuatu yang dilakukan seorang Mukmin di tengah mereka, padahal
seharusnya ia melakukan taqiyah, selama tidak menimbulkan kerusakan
dalam agama, maka itu boleh."


Dari pengertian ini, jika orang yang melakukan taqiyah itu termasuk
orang-orang yang memiliki kedudukan dan kepentingan di mata manusia,
padahal melakukan beberapa perbuatan yang haram atau meninggalkan
kewajiban dipandang sebagai melemah- kan mazhab atau merusak
kemuliaannya, seperti dipaksa me- minum khamar dan berzina, maka
bolehnya taqiyah dalam hal ini berdasarkan ketentuan dalil
ar-raf dan dalil-dalil taqiyah adalah sulit, bahkan dilarang. Yang
paling utama dari itu semua adalah tidak membolehkan taqiyah. Kalau
salah satu prinsip Islam atau mazhab, atau salah satu kewajiban agama
terancam hilang, rusak, dan berubah, seperti kalau orang-orang yang
menyimpang hendak mengubah hukum-hukum waris, talak, salat, haji, dan
prinsip-prinsip hukum lainnya, apalagi dari prinsip-prinsip agama
atau mazhab, maka taqiyah dalam kasus seperti itu tidak diper-
bolehkan. Kepentingan disyariatkannya taqiyah adalah agar mazhab
tetap utuh, prinsip-prinsip tetap terpelihara, dan kesatuan kaum
Muslim untuk menegakkan agama dan prinsip-prinsipnya. Apabila agama
dan prinsip-prinsipnya terancam kerusakan, maka tidak boleh
bertaqiyah. Hal itu tampak dengan jelas dari penjelasan di atas.


Demikianlah, telah kami jelaskan seluruh aspek taqiyah yang hakiki dan sebenamya. Dari
uraian itu, kami simpulkan sebagao berikut:


1. Taqiyah merupakan prinsip Al-Qur'an yang didukung oleh sunah Nabi saw. Taqiyah telah
dilakukan pada masa risalah oleh orang menghadapi ujian di kalangan
sahabat untuk me- melihara dirinya. Rasulullah saw tidak
menentangnya, bahkan menegaskannya dengan nas Al-Qur'an, seperti yang
menimpa ‘Ammar bin yasir yang diperintah oleh Rasulullah saw
untuk mengulanginya jika orang-orang musyrik itu memaksanya lagi agar
menjadi kafir.


2. Taqiyah dalam pengertian pembentukan kelompok-kelompok rahasia untuk tujuan-tujuan
destruktif ditolak oleh kaum Muslim pada umumnya, dan khususnya
Syi’ah. Hal itu tidak ada hubungannya dengan taqiyah yang
dianut kaum Syi .ah.


3. Para mufasir, dalam kitab-kitab tafsir mereka, ketika menafsikan ayat-ayat yang
berkenaan dengan taqiyah, sepakat dengan apa yang dianut Syi’ah
tentang bolehnya taqiyah.


4. Taqiyah tidak khusus dilakukan terhadap orang kafir, melainkan juga
secara umum dilakukan terhadap orang Muslim yang menyimpang yang
ingin berbuat jahat dan keji kepada saudaranya.


5. Berdasarkan pembagian hukum-hukumnya, taqiyah terbagi ke dalam lima bagian. Di
antaranya, taqiyah itu wajib dalam kasus tertentu dan haram dalam
kasus yang lain.


6. Lingkup taqiyah tidak melewati masalah~masalah individual, yaitu apabila dirasakan
ada ketakutan. Namun, jika ketakutan dan tekanan itu hilang, tidak
ada alasan untuk melakukan taqiyah.

Penutup


Kami asumsikan bahwa taqiyah merupakan tindak kejahatan yang dilakukan seseorang untuk
memelihara jiwa, kehormatan, dan hartanya. Akan tetapi, pada
hakikatnya, hal itu kembali pada kondisi yang mengharuskan seorang
Syi’ah yang Muslim melakukan taqiyah dan mendorongnya
menampakkan sesuatu dalam ucapan dan perbuatan yang tidak
diyakininya. Maka bagi orang yang mencela taqiyah terhadap sesama
Muslim yang tertindas hendaklah memberikan kebebasan kepada orang itu
dalam kehidupan dan membiarkannya di dalam keadaannya. Setidaknya
yang dapat dibenarkan akal adalah menanyakan kepadanya tentang dalil
akidahnya dan sumber pengamalannya. Jika didasarkan pada hujah yang
jelas, ikutilah. Namun, jika sebaliknya, maafkanlah ia dalam
mengikuti ijtihad dan jihad ilmiahnya.


Kami mengajak kaum Muslim untuk memperhatikan motif-motif yang mendorong kaum Syi’ah
melakukan taqiyah. Hendaklah mereka, sedapat mungkin, memberikan
keleluasaan kepada saudara mereka seagama. Karena setiap ahli fiqih
Muslim memiliki pendapat dan pandangan serta kesungguhan dan
kemampuan- nya sendiri.


Kaum Syi’ah mengikuti jejak para imam ahlulbait dalam akidah dan
syariat; meriwayatkan pendapat mereka. Sebab mereka adalah
orang-orang yang dihilangkan oleh A1lah kotoran dari mereka dan
menyucikan mereka sesuci-sucinya dan salah satu dari
tsaqalain yang diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk dijadikan pegangan
dalam bidang akidah dan syariat. Inilah akidah mereka yang dapat
diketahui oleh siapa saja. Itulah hujah bagi semuanya.


Kami memohon kepada Allah swt agar memelihara darah dan kehormatan kaum Muslim dari
gangguan orang-orang yang menyimpang; menyatukan barisan mereka;
menyatukan hati mereka; menyatukan kembali mereka; dan menjadikan
mereka satu barisan dalam menghadapi musuh. Sesungguhnya atas semua
itu Dia Mahakuasa dan Mahapantas mengabulkan doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar