Selasa, 02 November 2010

Arti Definisi Dan Pengertian Budaya Kerja

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo 1993, perpustakaan online).
Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Kerja pada hakekatnya adalahnya manifestasi amal kebajikan. Sebagai sebuah amal, maka niat dalam menjalankannya akan menentukan penilaian. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa yang diniatkannya. Suatu hari Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi Muhammad. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Kerja adalah perintah suci Allah kepada manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77).
Konsep kerja adalah sebagai proses penciptaan atau pembentukan nilai baru (tambahan) pada suatu unit sumber daya. Mengingat akan abstraknya pengertian kerja dan adanya berbagai bentuk energy tersebut, kerja (work) dioprasionalisasikan menjadi pekerjaan (job). Misalnya keluar perintah: kerja terhadap perintah tersebut timbul pertannyaan: kerja apa? Jawaban atasa pertannyaan itulah yang di sebut job. Begitu job di temukan, harus pula diklarifikasikan hubungan antara job. Kemudian dirinci menjadi tugass dan hubungan antara tugas didefinisikan. Tugas dibagikan (dialokasikan) kepada tiap petugas. (taliziduhu ndhara)
Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM, perpustakaan online )
Menurut Budhi paramita budaya kerja dapat dibagi menjadi:
1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kekuasaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain, seperti bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaan sendiri, atau merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.
2. Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasih, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk memperlajari tugsa dan kewajibannya, suka membantu sesame karyawan, atau sebaliknya.
Sikap maupun prilaku tersebut terbentuk baik didalam masyarakat maupun didalam organisasi atau prusahaan sudah barang tentu warna budaya kerja sedikit banyak di pengaruhi oleh budaya masyarakat (makro) atau budaya organisasi (perusahaan) yang bersangkutan.
Pentingnya Budaya Kerja
Temuan berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat kolerasi positif dan signifikan antara budaya organisasi, lebih-lebih budaya kuat, dengan prestasi kerja (performance) karyawaannya. Budhi paramita dalam makalahnya tersebut menunjukkan bahwa di banyak Negara ingkat pendidikan tidak langsung korelatif dengan pertumbuhan ekonomi. Harus ada variable yang memungkinkan atau membuat berhubungan satu sama lain.
Penelitia yang dilakukan oleh L.W.Budiwinantara di sebuah bank swasta asing di Jakarta (1995) juga menunjukan bahwa pembenukan budaya organisasi membawa dampak positif terhadap kinerja perusahaan. Bagaimana budaya kerja mempengaruhi kinerja SDM?
Dengan terciptanya sebuah budaya kerja yang efektif dan efesien dalam instansi pemerintahan diharapkan mampu memberikan konstribusi maksimal guna mencapai tatanan bernegara yang baik karena sebagai aparatur negara setiap instansi pemerintahan memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencapai hal tersebut.
Melaksanakan budaya kerja tidak bisa dipisahkan dengan sumber daya manusia (SDM) itu sendiri, karena budaya kerja sangat erat kaitannya dengan sikap/perilaku dan paradigma berpikir manusia dalam menciptakan produktivitas kerja yang memadai. Maka sebagai aparatur negara setiap manusia yang berada/bekerja dalam instansi-instansi pemerintahan hendaknya mampu menciptakan budaya kerja yang kondusif, di mana hal tersebut menjadi tuntutan dasar dalam menciptakan kinerja modern (tepat guna).
Dalam menciptakan sebuah sistem kerja untuk mewujudkan kinerja modern maka ada 3 faktor pendukung yang sangat penting, yaitu :
1. SDM (sumber daya manusia) Untuk menciptakan kinerja modern erat kaitannya dengan budaya kerja yang sedang berlaku sehingga peran serta setiap manusia didalamnya menjadi hal mutlak yang menentukan arah budaya kerja itu sendiri. Dalam hal ini setiap aparatur negara dalam menunaikan tugas-tugas kerja seharusnya memiliki nilai-nilai :
a. Disiplin
Dalam hal ini bukan hanya disiplin waktu yang menjadi perhatian setiap pekerja akan tetapi disiplin dalam menunaikan setiap tugas yang dibebankan kepadanya atau tanggung jawab kerjanya seharusnya bisa diselesaikan dengan baik. Berdisiplin secara kuantitas waktu kerja dan kualitas hasil kerja harus menjadi budaya kerja disetiap instansi-instansi pemerintahan.
b. Terampil/mampu menciptakan inovasi kerja
Dengan adanya tanggung jawab kerja berarti setiap pekerja juga diberikan keleluasaan untuk menunjukkan atau mengejewantahkan setiap keterampilan yang dimilikinya dalam menciptakan kualitas kerja yang inovatif sehingga terjadi pengembangan kerja yang berkualitas.
c. Berbasis pada Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi
Penyaringan setiap tenaga kerja termasuk tenaga-tenaga kerja dalam instansi-instansi pemerintahan menjadi indikator bahwasanya kualitas sumber daya manusia menjadi syarat utama dalam menduduki setiap jabatan/posisi yang tersedia. Termasuk juga adanya pendidikan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan disetiap instansi menjadi penunjang untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berbasis pada rasionalitas dan kecerdasan emosi. Sebagai aparatur negara kita harus dibekali dengan kematangan dan kecerdasan emosi dalam menghadapi setiap tantangan kerja.
d. Partisipatif/mampu membangun budaya kerja kelompok atau kerjasama yang baik, baik itu secara horizontal maupun vertikal.
Untuk mewujudkan team work yang baik setiap pekerja seharusnya memiliki kemampuan partisipatif agar dalam penyelesaian setiap tanggung jawab terjadi sinkronisasi kerja yang efektif
e. Tulus dan Ikhlas/mampu menempatkan atau memposisikan kerja sebagai tanggung jawab kemanusiaan sehingga terwujud motivasi kerja yang positif (tanpa pamrih).
Hal ini menjadi sangat penting untuk terpenuhi karena harus diakui bahwasanya budaya kerja yang terjadi hampir di semua instansi pemerintahan banyak kehilangan nilai ini. Para pekerja tidak memandang setiap tanggung jawab kerja yang diberikan kepadanya mengandung nilai ibadah sehingga tidak mengherankan jika disetiap pelaksana kerja/tugas para pekerja tidak mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat yang menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan pelayanan publik, dan pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. 
2. Imbalan/Materi
Tidak dapat dinafikkan bahwa setiap pekerja/pegawai memiliki hak untuk memperoleh imbalan dari setiap tanggung jawab kerja yang mereka emban. Dan oleh karena itu materi sebagai bentuk imbalan kerja menjadi hal penting untuk terpenuhi.
Oleh karena itu Karl Marx (dalam bukunya Das Kapital) menekankan bahwasanya untuk mewujudkan sistem perekonomian yang baik termasuk untuk mencapai sebuah hasil kerja yang masksimal maka setiap pekerja harus menerima imbalan/materi yang setimpal dari setiap hasil kerjanya, dimana hal ini juga menjadi motivasi terbesar bagi setiap pekerja untuk dapat menyelesaiakan setiap pekerjaannya secara maksimal.
Hal ini yang kemudian menjadi rujukan banyak negara dalam menciptakansebuah budaya kerja, yang kemudian mengarah pada penerapan budaya kapitalis tersebut. Dalam dunia bisnis/swasta budaya kerja kapitalis ini dapat dilihat dari pemberian “bonus” bagi para pekerja selain dari gaji pokok yang biasa mereka terima, dimana pemberian bonus ini sebagai bentuk imbalan dari hasil kerja mereka baik secara kuantitas maupun pencapaian kualitas hasil kerja sedangkan dalam instansi-instansi pemerintah biasa kita kenal dengan istilah honor yang belakangan ini kemudian menggelinding sebuah program sertifikasi (bagi Guru) dan tunjangan kinerja dibeberapa instansi pemerintahan dimana semua itu merupakan “penghasilan tambahan” sebagai buah dari hasil kerja yang dilakukan.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu indikasi bahwasanya kita sedang menerapkan budaya kerja kapitalis di instansi-instansi pemerintahan. Pada dasarnya hal ini kemudian menjadi kontradiktif dengan poin (e) pada ulasan tentang SDM diatas, karena sebagai aparatur negara yang digaji oleh “rakyat” maka selayaknya kita mampu memberikan/mendedikasikan segala tenaga dan pikir untuk negara dan memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat tanpa mematerikan setiap bentuk pelayanan yang kita berikan sehingga tidak selayaknya budaya kerja kapitalis berada dalam ruang lingkup kerja kita.
Akan tetapi hal ini memerlukan kajian yang lebih dalam disertai dengan analisa aktual yang mendalam karena efektifitas sebuah penerapan sistem dalam budaya kerja sangat bergantung dari pencapaian hasil yang ditargetkan. Dalam artian jika budaya kerja berbasis sistem kapitalis ini mampu menciptakan kinerja yang lebih produktif maka hal ini kemudian menjadi suatu hal yang seharusnya diterapkan dalam setiap ruang lingkup kerja termasuk instansi-instansi pemerintahan di Indonesia.
3. Hasil Guna
Terlepas dari sistem apa yang kita anut dalam menciptakan budaya kerja hal terpenting adalah bagaimana kita bisa memberikan hasil kerja yang tepat guna karena dalam setiap pekerjaan bukan hanya hasil yang diinginkan akan tetapi bagaimana hasil kerja kita tepat guna dalam artian dalam melaksanakan setiap pekerjaan kita diberikan sebuah tanggung jawab besar untuk menyelesaikannya dengan baik.
Dengan terpenuhinya poin-poin diatas Insya Allah akan menghantarkan kita dan pencapaian reformasi birokrasi kearah yang lebih baik. Walaupun penulis sadari tulisan ini masih sangat dangkal pengetahuan dan pengalaman akan tetapi semoga tulisan ini menumbuhkan semangat diaologis buat kita semua dalam melihat bagai macam persoalan bangsa terutama dalam menciptakan budaya kerja yang ling ideal guna mewujudkan kinerja modern.
Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja
Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :
1. Meningkatkan jiwa gotong royong
2. Meningkatkan kebersamaan
3. Saling terbuka satu sama lain
4. Meningkatkan jiwa kekeluargaan
5. Meningkatkan rasa kekeluargaan
6. Membangun komunikasi yang lebih baik
7. Meningkatkan produktivitas kerja
8. Tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll
Budaya Dalam Organisasi Sosial
Budaya merujuk kepada falsafah yang berkaitan dengan perilaku, tindakan dan pembawaan yang secocok dengan adat resam dan kebiasaan manusia. la juga berkait rapat dengan aspek-aspek norma dari moral tertentu yang disepakati dan diterima bersama oleh sesuatu masyarakat. Dengan itu budaya boleh dikaitkan dengan ciri-ciri sifat, sikap dan kebiasaan individu, masyarakat atau bangsa. Dan budaya inilah yang menentukan kedudukan mereka sama ada berjaya, cemerlang, gagal atau mundur.
Salah satu daripada elemen budaya ialah kerjasama dan permuafakatan. Semangat kekitaan dan rasa setiakawan ialah antara aspek yang sangat rapat dengan cara hidup masyarakat dan budaya orang timur. Dalam konteks masyarakat Melayu misalnya, budaya kerja berpasukan telah menjadi identiti dan warisan turun-temurun dalam kehidupan. Tidak cukup dengan itu, kerja.sama dan hubungan erat dalam kehidupan anggota masyarakat ini terlihat menerusi perbilangan adat berikut:
Masyarakat Melayu tradisi sememangnya kuat berpegang kepada amalan gotong-royong, tolong-menolong, bekerjasama dan bermuafakat dalam menyempurnakan keperluan hidup. Misalnya, mereka bekerjasama untuk membina rumah, membersihkan perkuburan, melangsungkan kenduri-kendara, menyempurnakan jenazah dan sebagainya. Menerusi hubungan baik dan harmoni, permuafakatan mudah diperolehi untuk melaksanakan amalan kebajikan dan mencegah kebatilan. Oleh itu sentimen kepunyaan, obligasi social dan kesetiaan komuniti adalah amalan yang menjadi darah daging masyarakat Melayu tradisi.
Hari ini, dampak modenisasi dan globalisasi telah menjalar ke serata pelusuk desa sehingga , menjejaskan amalan dan budaya murni masyarakat tani. o1eh itu nilai-nilai kolektiviti dan permuafakatan mungkin semakin luntur digantikan dengan budaya material dan konsumerisme. Meskipun demikian, kajian- kajian kemasyarakatan yang dilakukan mendapati bahawa masyarakat Melayu sama ada di desa mahupun di bandar, tidak mudah untuk meninggalkan sepenuhnya amalan tradisi seperti kerjasama dan tolong-menolong dalam kehidupan seharian.
Budaya Dalam Organisasi Kerja
Organisasi merupakan wadah bagi pembentukan budaya kecilnya (sub-budaya) yang tersendiri. Dalam konteks organisasi, budaya boleh diertikan sebagai peraturan dan panduan kepada sistem tingkahlaku dan amalan individu sebagai anggota (pekerja) kepada organisasi. Budaya ini seumpama baja yang menyuburkan organisasi bagi menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Organisasi yang digerakkan tanpa budaya kerja yang sihat akan menghadapi krisis
tertentu berkaitan dengan sikap, perilaku, tindakan, amalan dan kepercayaan manusia
pekerja didalamnya. Masalah yang timbul adalah berpunca daripada amalan dan
tingkahlaku negatif seperti digambarkan berikut: Dalam hal ini, jika budaya kerja yang bersesuaian gagal diwujud, ditanam dan dimantapkan dalam diri setiap pekerja, organisasi akan berhadapan dengan bahaya kehancuran. Sebaliknya budaya kerja positif akan menyumbang kepada kejayaan organisasi keseluruhannya.
Amalan dan penghayatan nilai-nilai positif dalam organisasi ini akan dapat mendorong manusia pekerja menjalankan tugas dengan penuh komitmen dan kolektif. Menerusi budaya kerja murni, amalan negatif akan dapat dihindarkan, manakala perlakuan baik dapat dipertingkatkan bagi membolehkan organisasi bergerak lancar mencapai matlamatnya. Oleh yang demikian secara keseluruhannya, pengamalan dan penghayatan amalan kerja yang betul akan memantapkan budaya kecemerlangan dalam organisasi.
Budaya kerja yang mendorong ke arah kejayaan organisasi ini dikenali juga sebagai budaya korporat. Budaya korporat boleh ditakrifkan sebagai suatu bentuk amalan, perlakuan dan tindakan yang bertujuan untuk menerbitkan perasaan dan sentimen tertentu dalam organisasi, seperti dalam rajah di bawah. Amalan seperti mengutamakan pelanggan, membuat keputusan secara kolektif, sikap prihatin terhadap pekerja, komunikasi dua hala dan sebagainya, adalah antara ciri-ciri dalam budaya korporat. Budaya korporat inijika telah mantap pastinya akan member sumbangan berkesan dalam penghasilan output yang berkualiti. Penghasilan
perkhidmatan yang berkualiti dan berkesan akan memberi kepuasan kepada pelanggan.
Manakala kepuasan dan kepercayaan pelanggan terhadap organisasi merupakan suatu bentuk pengiktirafan dan ganjaran yang tertinggi kepada para pekerja. (zahrial fakhri)
Pembentukan Budaya Kerja
Budaya kerja organisasi tidak lahir sendiri secara terpisah dengan persekitarannya. Sebaliknya ia terhasil menerusi gabungan nilai- nilai asas yang dibawa oleh individu, nilai-nilai khusus yang dimiliki oleh organisasi dan nilai- nilai umum yang terdapat dalam masyarakat.
Tiga gelung dalam rajah di atas setiap satunya mewakili domain individu, organisasi dan masyarakat. Kawasan bertanda C merupakan ruang dominasi bagi satu bentuk nilai sahaja, sarna ada nilai individu yang diperolehi menerusi proses sosialisasi untuk membolehkannya menyesuaikan diri dengan orang lain, nilai masyarakat yang diwarisi bersama untuk mengekalkan kesejahteraan, atau nilai organisasi yang dicipta khusus untuk membolehkannya berdaya maju dan berdaya saing. Setiap set nilai yang dimiliki oleh ketiga-tiga domain ini mempunyai persamaan dan juga perbezaan dari segi unsurunsur yang membinanya.
Kawasan bertanda B adalah medan pertemuan antara dua domain iaitu individu/organisasi, organisasi/masyarakat dan masyarakat/individu. Oleh itu ruangan B adalah arena penyatuan dua set nilai. Dalam konteks pembentukan budaya kerja, nilai individu dan nilai masyarakat sahaja mungkin tidak mencukupi untuk membawa organisasi ke arah kecemerlangan. Misalnya, nilai individu yang terdapat dalam masyarakat Melayu seperti menghormati orang lebih dewasa dan nilai masyarakat Melayu yang member keutamaan berdasarkan usia, belum pasti boleh membawa kemajuan kepada organisasi. Dalam konteks kenaikan pangkat dalam organisasi, kelebihan dari segi usia dan senioriti mungkin tidak membawa makna tanpa disertai kecekapan (nilai terhadap meritokrasi). Ini bermakna masih terdapat unsur lain yang perlu disebatikan bagi membentuk kesepaduan antara nilai-nilai berkenaan.
Kawasan bertanda A adalah merupakan medan pertemuan dan penyebatian antara ketigatiga domain tersebut. Oleh itu kawasan A memperlihatkan pertemuan dan gabungan antara nilai individu, masyarakat dan organisasi yang menjadi asas kemantapan dalam pembentukan budaya kerja korporat. Semakin besar ruang A menunjukkan semakin luas dan mantap pembinaan budaya kerja yang dihasratkan dalam organisasi. Ini bermakna pekerja diharapkan agar memiliki nilai asas yang murni sebagai individu, memahami sensitiviti masyarakat sekeliling dan dalam masa yang sama menghayati tuntutan khusus organisasi.
Oleh yang demikian, budaya korporat terhasil menerusi gabungan nilai individu pekerja, norma masyarakat dan prinsip yang ingin diterapkan organisasi. Ini menunjukkan terdapat hubung kait dan pertalian yang kukuh dalam pembentukan budaya kerja (korporat) antara peringkat individu, masyarakat dan organisasi.
Beberapa Model Budaya Kerja
Kajian-kajian yang dilakukan mengenai budaya kerja organisasi telah menampilkan beberapa model tertentu iaitu budaya autoritarian, budaya birokratik, budaya tugas, budaya individualistik, budaya tawar- menawar dan budaya kolektiviti (lihat hllraian lengkap Sivalingam dan Siew Peng Yong, 1992)E-Book online.
i. Budaya Kerja Autoritarian Budaya kerja jenis ini menumpukan kepada 'command and control'. Kuasa dan autoriti dalam organisasi biasanya terpusat kepada pemimpinnya yang seringkali disanjung sebagai , hero' .Pekerja akan diharapkan untuk memperlihatkan kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin. Arahan dan peraturan dihantar dari atas menuju ke dasar organisasi.
Budaya bentuk ini seringkali diamalkan dengan berkesan dalam organisasi yang bersaiz kecil seperti pemiagaan keluarga, syarikat kecil dan firma sederhana. Bagaimanapun terdapat agensi swasta yang melaksanakan budaya kerja ini dimana keputusan ditentukan oleh pengasas atau pemegang saham utama, manakala pekerja tidak mempunyai suara kecuali sebahagian kecil individu dalam organisasi yang diberi kepercayaan oleh pemilik atau pemegang saham utama tadi. Asas kepercayaan boleh berdasarkan kepada unsure nepotisme, kronisme, peribadi atau mungkin juga kecekapan.
Dengan demikian hubungan personal yang rapat dengan pihak atasan adalah factor penting dalam kelancaran pekerjaan dan kenaikan pangkat. Oleh itu bagi menjaga kepentingan, pekerja cenderung untuk bersikap 'yes man , dan 'play safe' daripada memberi pandangan kritikal bagi menjaga kedudukan dan kepentingan masing-masing.
ii. Budaya Kerja Birokratik Budaya kerja birokratik ini berasaskan kepada konsep bahawa organisasi boleh diurus dengan cekap menerusi kaedah pengurusan bersifat impersonal, rasional, autoriti dan formaliti. Impersonal bermaksud setiap pekerja tertakluk kepada peraturan dan prosedur yang sama dan harus menerima layanan yang sama. Peraturan dan prosedur tersebut adalah dilaksanakan secara formal untuk mengingatkan pekerja akan etika dan keperluan yang dikehendaki daripada mereka.
Jawatan dalam organisasi adalah disusun mengikut hierarki supaya tanggungjawab, penyeliaan, autoriti dan akauntabiliti jelas dan mudah diikuti. Manakala untuk mempastikan kelancaran dan kecekapan kerja, pengkhususan tugas dilakukan iaitu dengan memecah- mecahkan kerja menjadi lebih spesifik supaya pekerja mudah menguasai dan cekap melakukannya. Dalam masa yang sama, faktor meritokrasi digunapakai dalam organisasi iaitu pengambilan pekerja, kenaikan pangkat dan pemberian ganjaran diberi berdasarkan kebolehan dan prestasi kerja masing-masing.
iii. Budaya Kerja Fungsional Organisasi-organisasi kerja yang berjaya di Barat sering mengamalkan budaya kerja fungsional atau 'project-based' ini. Dalam konsep fungsional, kerja dalam organisasi dibahagi dan ditugaskan kepada individu atau pasukan tertentu. Projek yang paling penting akan diserahkan kepada pekerja atau sekumpulan pekerja yang paling berkemampuan. Apabila projek tersebut selesai, maka tugas individu atau kumpulan akan selesai dan kumpulan baru pula akan dibentuk bagi melaksanakan projek yang lain.
Oleh itu, struktur kumpulan adalah fleksibel dan interaksi adalah berasaskan kemahiran dan hormat-menghormati. Keputusan akan diperolehi selepas perbincangan, perundingan dan persetujuan para anggota projek. Oleh itu kejayaan dinilai berasaskan kebolehan menyempurnakan projek yang memuaskan pelanggan. Bekerja secara bersama bagi menjayakan sesuatu projek ini membentuk solidariti pekerja dan mendorong penyesuaian antara personaliti yang berbeza kerana mereka sama-sama bertanggungjawab kepada kejayaan organisasi.
iv. Budaya Kerja Individualistik Dalam organisasi yang mengamalkan budaya kerja ini, individu tertentu menjadi tumpuan utama. Terdapat universiti yang bergantung kepada profesor ternama untuk menarik pelajar dan mendapatkan tajaan. Begitu juga firma konsultansi atau guaman biasanya bergantung penuh kepada individu (konsultan atau peguam) tertentu yang popular bagi menarik pelanggan. Dalam organisasi seperti ini segelintir kecil pekerja adalah tulang belakang kejayaan syarikat kerana mereka mempunyai reputasi, kredibiliti, kepandaian dan keterampilan. Kebolehan mendapatkan pelanggan seringkali menyebabkan mereka kurang terikat kepada peraturan dan prosedur. Kenaikan pangkat sepenuhnya bergantung kepada meritokrasi kerana setiap orang perlu membuktikan bahawa mereka memberi sumbangan yang lebih daripada orang lain kepada organisasi.
v. Budaya Kerja Tawar Menawar Dalam organisasi jenis ini, kesatuan pekerja diiktiraf sebagai bahagian utama dalam organisasi. Kesatuan sekerja berfungsi untuk menjaga kepentingan pekerja dan membantu pengurusan mencapai matlamat organisasi. Perundingan dan tawar menawar berlangsung berdasarkan perundangan dan prosedur yang diakui oleh kedua-dua belah
pihak. Meskipun pertikaian dan pertentangan pendapat kadangkala berlaku antara kesatuan sekerja dan majikan, tetapi ia sering dapat diselesaikan di meja rundingan. Dari satu segi pihak pengurusan boleh mendapat pandangan wakil kesatuan sekerja bagi melaksanakan peraturan, sistem dan ganjaran. Manakala kesatuan sekerja akan mempastikan hak, kepentingan dan kebajikan pekerja diberi jaminan. Secara keseluruhannya pendekatan ini yang berkonsepkan hubungan rapat majikan pekerja bertujuan untuk mewujudkan situasi menang-menang antara kedua belah pihak.
vi. Budaya Kerja Kolektif Dikatakan bahawa antara kunci kejayaan organisasi Jepun adalah kebolehan mereka untuk menggunakan idea dan cadangan pekerja bawahan. Ini kerana pekerja adalah 'pemilik proses kerja' dan mereka lebih mengetahui tentang sistem dan tatacara melaksanakan kerja berbanding orang lain. Dengan itu pekerja diberi peluang untuk mengemukakan cadangan dan kreativiti bagi memperbaiki proses kerja, sistem dan prosedur.
Unit asas bagi organisasi Jepun adalah kumpulan kerja yang dianggotai oleh semua peringkat jawatan seperti pakar, profesional, pengurus, juruteknik dan pekerja sokongan. Tetapi mereka akan bergaul sama di tempat kerja, di meja makan dan di masa rehat.
Oleh itu komunikasi di tempat kerja berlangsung dengan lancar. Pengurus dan pekerja samasama berusaha menyelesaikan masalah atau meningkatkan kecekapan dengan perbincangan yang kerap. Penghargaan dan keuntungan diberi bukan berasaskan individu sebaliknya kumpulan kerja. Oleh itu kerjasama antara anggota dalam kumpulan adalah tinggi.
Ciri-ciri seperti kesetiaan, keraj inan, komitmen, menghormati superior, boleh
bekerjasama dan mencapai sasaran kerja adalah antara kriteria pertimbangan bagi
kenaikan pangkat. Pengurusan pula memberi teladan baik, berinisiatif dan mengutamakan kebajikan pekerja bawahan menerusi sifat-sifat ikhlas, adil dan jujur. Oleh kerana syarikat dan pekerja menjalinkan hubungan berasaskan kepercayaan dan niat baik, ramai menganggap organisasi Jepun merupakan satu keluarga yang besar, merniliki identity sendiri dan dan pertalian seumur hidup. Berbeza dengan budaya kerja projek, budaya kerja Jepun bersifat 'bottom-up' menerusi penglibatan aktif pekerja meskipun struktur organisasinya mempunyai hirarki tinggi.
Dalam ajaran Islam pula, tuntutan terhadap budaya musyawarah terpancar menerusi konsep 'syura'. Syura dalam pengertian umum bermaksud bermesyuarat, berbincang dan bertukar pandangan mengenai sesuatu perkara. la menjadi sebahagian daripada amalan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW dan Khulafa Ar-Rasyidin bagi memperolehi permuafakatan dalam membuat keputusan mengenai urusan kehidupan.
Dengan itu, syura dilaksanakan bagi mencapai penyertaan, kesepakatan dan kebulatan tindakan. Firman Allah SWT bermaksud: maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahl al-zikr) jika kamu tidak mengetahui (perkara itu) " (al- Quran 16:43) Membayangkan bahawa banyak urusan kehidupan yang perlu kepada rujukan, analisis, perbincangan dan pertukaran pandangan sebelum sebarang keputusan terbaik dari segi maslahat ummah dapat dilakukan. Meskipun demikian hanya mereka yang terlibat dalam urusan berkenaan dan memiliki pengetahuan atau kemahiran tertentu yang perlu diberi keutamaan dalam perundingan berkenaan (Mohd. Shahar Sidek, 1997, dalam jurnal pengurus 2002 vol 21).
Meskipun sunnah Rasulullah SAW kelihatan tidak memberikan model atau kaedah yang jelas bagaimana syura harus dilaksanakan, tetapi ternyata banyak urusan mengenai kehidupan memerlukan kepada perbincangan, pertukaran idea dan perkongsian keputusan. Oleh itu dalam konteks organisasi, syura menjadi wacana pengurusan yang sentiasa relevan (Abdul Monir Yaacob 1998) bagi mencapai keputusan, kesepakatan dan penyertaan.
Budaya Kerja Da1am Organisasi Tempatan Pada umumnya masyarakat Barat menganggap manusia pekerja perlu mengejar masa dan bertindak pantas. Dari segi hubungan sesama pekerja, masyarakat Barat member penekanan kepada konsep individualisme (mengutamakan diri) dan pencapaian kendiri. Individu menetapkan matlamat dan berasaskan daya usaha sendiri akan cuba memenuhi matlamat tersebut. Dengan itu individu lebih berdikari, agresif, bebas dan kurang bergantung kepada orang lain.
Masyarakat Malaysia pula dikatakan agak lembut dan tidak begitu agresif. Mereka biasanya tidak begitu gemarkan persaingan dan agak keberatan (malu) untuk
menonjolkan diri. Dikatakan juga bahawa sikap menunjuk-nunjuk, agresif dan ego sukar diterima oleh kebanyakan pekerja dalam organisasi. Masyarakat pekerja tempatan kelihatannya lebih cenderung menghargai pencapaian kumpulan berbanding individu.
Malah dalam organisasi tempatan yang masih kuat berasaskan hirarki, agak sukar untuk superior menerima idea dan kreativiti daripada subordinat. Dengan itu inisiatif daripada kumpulan pekerja bawahan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik terhadap proses dan output kerja mereka, hanya boleh berlaku jika mendapat ' lampu hi jau ' dan menerima sokongan kuat pengurusan. Justeru itu keharmonian dalam organisasi seboleh-bolehnya akan dipertahankan, manakala konflik atau perselisihan seboleh mungkin akan dihindari. Sebarang bentuk ketidaksetujuan terutama dengan mereka yang berada di kedudukan lebih atas, biasanya akan dipendamkan sahaja, atau disuarakan 'di belakang' tanpa ingin meluahkannya secara berhadapan. Sekiranya begitu perlu untuk berkata sesuatu, pandangan harus disampaikan secara beradab dan lembut. Teguran yang dilakukan secara terbuka sukar untuk diterima berbanding dengan kaedah diplomasi dan berlapik.
Pekerja dalam organisasi tempatan juga sering memberi penghormatan dan keutamaan kepada kedudukan seseorang dalarn organisasi berdasarkan pangkat,jawatan, pengalaman dan lama bertugas. Dengan itu kebanyakan organisasi kerja tempatan adalah lebih berorientasikan hirarki dan mempunyai sensitiviti yang tinggi terhadap nilai, norma dan maruah (air muka) orang lain. Manakala orientasi terhadap agama sangat dihargai dan menjadi satu daripada kriteria penting untuk membuat sesuatu keputusan dalam urusan pekerjaan.
Oleh itu tatkala memperkatakan mengenai budaya kerja Malaysia, khususnya dalam sektor awam, pendekatan pengurusan yang dianggap paling digemari ialah kelembutan tingkahlaku, kehalusan komunikasi serta berorientasikan solidariti. Selain itu asas penting dalam hubungan pekerjaan adalah berdasarkan kepercayaan, setia-kawan dan hubungan baik.
Sehubungan itu dapatlah dikatakan bahawa pekerja dan organisasi tempatan lebih
menggemari kaedah pengurusan yang berhemah, bijaksana, mengambilkira perasaan
orang lain dan mengutamakan kelompok (Zainal Ariffin Ahmad, 1998)jurnal online. Sebab itulah juga budaya kerja berkumpulan atau berpasukan dianggap salah satu bentuk pengurusan yang paling sesuai dan mudah diterima oleh pekerja dan organisasi tempatan.
Penutup
Secara umumnya adalah sukar untuk menyatakanjenis budayakerja yang paling baik atau paling buruk kerana ia bergantung kepada ruang masa, masyarakat dan konteks organisasi. Dalam hal ini mungkin budaya kerja individualistik yang diamalkan di Barat sangat secocok untuk meningkatkan output, tetapi budaya kerja tersebut besar kemungkinannya tidak sesuai dilakukan di negara ini kerana kelainan iklim organisasi dan perbezaan pegangan hidup masyarakat.
Bagaimanapun tujuan pembentukan budaya kerja dalam organisasi adalah untuk membolehkan pekerjanya memiliki perkongsian set nilai dan persefahaman bersama. Menerusi pengamalan bersepadu terhadap ciri-ciri tertentu nilai, norma, sikap dan perilaku, adalah diharapkan agar satu budaya kerja positif akan dapat dibentuk dalam organisasi. Sekiranya sesuatu organisasi itu mengamalkan budaya yang sesuai, maka daya saing, daya tahan dan prestasinya akan meningkat. Oleh itu budaya kerja yang secocok akan memandu organisasi berkenaan ke arah kejayaan.

Daftar Rujukan
Antonius Sukoco, 2007, Arti Definisi/Pengertian Budaya Kerja Dan Tujuan/Manfaat Penerapannya Pada Lingkungan Sekitar, Copyright © 2005-2009 Organisasi.Org
Firlyanti Komalasari Mallarangan, budaya kerja kapitalis Dalam kerangka kinerja modern (Staf Umum PA. Palangka Raya)
HR. Ath-Thabrani
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet, Dan Pembangunan, Gramedia jakarta
Kamarulbaraini Keliwon, Aini Aman dan Azmi Harun. Hubungan Antara Faktor
Organisasi Dengan Prestasi Sistem Maklumat Perakaunan.Jurnal Pengurusan 2002.vol (21)
Taliziduhu Ndraha, 2002, pengntar teori pengembangan sumber daya manusia, rineka cipta, Jakarta, anggota IKAPI.
www.Organisasi.Org (Komunitas & Perpustakaan Online Indonesia)
Wahyu Mahardian, 2007, Membangun Budaya Kerja Islami, www.blogspot.com
www.blogspot.com
www.downloadE-book.com
QS. Al-Qashash: 77
Zahrial Fakhri, 2007, Manusia Dan Budaya Kerja Dalam Organisasi, Powered By AcehFo®um Copyright © 2005 - 2009 Welcome Forum SEO by Zoints AcehForum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar