Selasa, 02 November 2010

Tugas : The stages of Economic Growth

1. Kondisi pembangunan ekonomi ndonesia selama ini dengan menggunakan pemikiran W.W Rostow

The stages of Economic Growth, dikenal dengan lima tahapan perlembagaan/perubahan masyarakat yaitu :

1. Masyarakat Tradisional,Tahapan masyarakat tradisional merupakan tahapan dimana tingkat perekonomian berada pada titik rendah. Kondisi ini ditandai dengan rendahnya output per cápita dan berada dalam kondisi stagnan (tidak mengalami peningkatan yang mencolok) untuk jangka waktu yang panjang. Lambatnya perkembangan ekonomi pada tahap ini dikarenakan tidak adanya budaya productivitas atau secara nyata belum ada tradisi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Keadaan ini terjadi pada setiap masyrakat manapun sebagai statu awal dari sejarah manusia.

2. Prakondisi Lepas Landas, Prakondisi untuk lepas landas (precondition for take-off) dimulai ketika era masyarakat tradisional telah berakhir. Di Eropa masa ini ditandai dengan berkahirnya feodalisme, tumbuhnya kelompok borjuis di kota-kota perdagangan, kebebasan beragama yang ditunjukkan dalam berbagai agama protestan, serta kemajuan ilmu pengetahuan. Menurut Rostow, persiapan untuk industrialisasi yang berkelanjutan antara lain membutuhkan perubahan radikal pada tiga sector non industri.
Kenyataan yang terjadi Indonesia adalah dengan mempersiapkan perusahaan-perusahan besar dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di Indonesia, dengan cara ini nantinya diharapkan Indonesia dapat mengelola SDAnya sendiri tanpa ada ketergantungan dari Negara-negara asing. Walaupun dalam tahap ini Indonesia masih mendatangkan bahan mentahnya dari luar negeri, ini untuk persiapan guna melangkah ketahap berikutnya yaitu tahap lepas landas.


3. Lepas Landas, Tahap lepas landas (take-off) merupakan era di mana resistensi ekonomi dan kemantapan telah tumbuh secara normal. Struktur ekonomi menguat bersamaan dengan investasi yang gencar oleh pemerintah maupun masyarakat secara mandiri. Pada tapan inilah muncul kelas baru dari kelas menengah yang disebut entrepreneur yang mandiri. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tapan lepas landas :
a. Harus ada kenaikan tingkat investasi yang produktif dari 5 persen atau kurang menjadi 10 persen atau lebih dari pendapatan nasional (net national product).
b. Munculnya satu atau lebih cabang industri yang kuat dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi.
c. Tatanan politik, social dan kelembagaan telah berkembang dengan baik sehingga mampu mendorong perluasan ekonomi modern dan efek-efek ekonomi eksternal yang berpotensial dari kegiatan lepas landas menuju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Kenyataan yang terjad di indonesia adalahsudah memenuhi syarat dalam melengkah ketahap lepas landas yakni dimana kenaikan investasi indonesia belakangan ini sudah mengalami kenaikan, walaupun di tahun 1998 dan tahun 2000 mengalami puncak kemunduruan perekonomian indonesia yaitu di tandai dengan adanya reformasi pemerintahan yang di ikuti dengan melemahnya suku bunga keuangan indonesia saat itu, namun belakangan ini indonesia mampu menanggulangi masalah tersebut, apalagi indonesia kini sudah memiliki berbagai cabang APBN dan APBD yang dapat membantu laju pertumbuhan ekonomi negara, disamping itu perusahaan besar yang dipersiapkan di tahapn para kondisi lepas landas kini sudah dapat mengelola sendiri SDA yang ada di indonesia, namun indonesia masih digoncang dengan tatanan politik yang msih kurang stabil, walaupun kenaikan investasi yang lumayan meningkat dan bermunculnya cabang industri yang memperkuat perekonomian bangsa, hal ini belumlah cukup kalau tatanan politik sosial dan kelembagaan kurang berkembang atau tidak stabil ini dapat berdampak keterpurukan mental bangsa yang dimana akan berpotensial terjadi kesenjangan sosial dan pembangunan yang kurang merata di berbagai daerah. Kalau saja indonesia dapat lebih baik memperbaiki tatanan politik, sosial dan kelembagaannya hal yang dimaksud diatas tidaks akan terjadi dan indonesia mampu mendorong perluasan ekonomi moderen dan efek-efek ekonomi eksternal yang berpotensial dari kegiatan lepas landas menuju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

4. Tahap Kematangan, Tahapan selanjutnya setelah lepas landas adalah tahap kematangan (the drive to maturity). Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per cápita sudah teratur. Teknologi modern sudah teraplikasi pada hampir seluruh sumber daya wilayah. Investasi berlanjut dengan baik di atas 10 persen dari pendapatan nasional. Cara hidup berubah pada sebagian besar orang selama era kematangan. Populasi lebih cenderung kepada perkotaan daripada pedesaan. Proporsi pekerja semi-skilled dan white collar meningkat. Kekuatan proletariat baru kota bertangan lembut muncul sehingga negara menyediakan jaminan social dan ekonomi.
Kenyataan yang terjadi saat ini adalah dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dapat dilit pula dengan kecendrungan masyarakat lebih mengarah keperkotaan yakni dengan perlahan-lahan meninggalkan cara-cara tradisional, di indonesia hal ini dapat dilihat dengan laju pertumbuhan penduduk diperkotaan semakin meningkat lihat saja jakarta yang kian tahun penduduknya bertambah banyak yang dimana masyarakat pedesaan datang kejakarta menggantungkan hidupnya di kota besar.

5. Tahap Konsumsi tingkat tinggi, Dalam skema Rostov tingkatan tertinggi adalah era konsumsi massa yang tinggi ( the age of high mass consumption). Yang pertama sekali mencapai tingkat ini adalah Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Di Inggris tahap ini dimulai pada 1930-an, tetapi disela oleh Perang Dunia II. Pada Negara-negara Eropa Barat continental baru dimulai pada 1950-an. Pada setiap kasus tahap ini ditandai oleh pergerakan ke daerah pinggiran kota, munculnya mobil, dan penggunaan barang-barang dan peralatan konsumsi yang tahan lama dalam jumlah tak terhitung.
Kenaikan pendapatan menyebabkan konsumsi tidak hanya untuk kebutuhan pokok saja, tetapi meningkat kepada kebutuhan hidup yang lebih tinggi. Produksi industri juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi barang knsumsi yang tahan lama. Pada titik ini, pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus.

2. Analisa kasus bagi hasil migas (perimbangan keuangan pusat-daerah) dengan menggunakan model satelit-metropolis dari Andre Gunder Frank.
Amandemen yang akan ditetapkan DPR tetap seperti undang-undang sebelumnya yakni 15% untuk daerah penghasil minyak dan gas dan 85% disetor kepusat. Sehubungan dengan bagi hasil ini Riau mengusulkan jatah mereka dinaikkan menjadi 40% untuk migas, sementara Kalimantan Timur meminta 25% untuk minyak dan 40% untuk gas. Permintaan kenaikan ini didasari oleh angka kemiskinan yang makin tinggi, serta pembangunan infrastruktur yang tersendat. Disamping itu cadangan minyak Riau yang semakin menipis (diperkirakan hasbis 20 tahun lagi), menyebankan kesejahteraan rakyat semakin terbatas. Disampin itu juga dalam beberapa kontrak migas pemerintah memberikan persentase bagi hasil lebih besar kepada kontraktor.
Harapasn tipis dikabulkannya permintaan tersebut didasari oleh kesulitan pemerintah pusat untuk mencarikan dana, karena secara otomatis akan mengurangi jatah daerah lain. Alas an lainnya adalah belumadanya lembaga auditor independen disetiap daerah sehingga dana yang besar trsebut akan rawan dengan tinfak penyelewengan.
Semantara daeerah sendiri untuk mengail penghasilan, mulai memberlakukan berbagai pungutan melalui penerbitan aturan daerah. Hal ini akan menyebabkan beban operasi meningkat dan sebaliknya pendapatan akan menurun, sehingga investasi migas di Indonesia tidak menarik lagi.(sumber: disarikan Tempo edisi 27 sep-3 ok 2004).

Dari intisari diatas yang di hubungkan dengan model satelit-metropolis Andre Gunder Frank bahwa Negara satelit (Negara berkembang) dieksploitasi oleh Negara metropolis (Negara maju dalam hubungan ekonominya (pengambilan surplus ekonomi secara nasional dan global), dalam hal ini “Negara satelit yang dimaksud adalah pemerintah daerah dan Negara metropolis adalah pemerintahan pusat”.
Disini jelas terlihat bahwa daerah bisa dikatakan dirugikan dimana pendapatan yang dihasilkan oleh daerah yakni dari migas peemerintah pusatlah yang mendapat jatah lebih banyak sesuai dengan Amandemen yang ditetapkan oleh DPR yakni 15% untuk daerah penghasil minyak dan gas dan 85% disetor kepusat. Pemerintah pusat mendapat jatah lebih besar bukan tanpa alasan pemerintah pusat menilai jika pemerintah daerah mendapat jatah lebih banyak dari pemerintah pusat maka pemerintah pusat akan kesulitan mendapatkan dana untuk daerah-daerah lain yang ada di Indonesia, yang ahirnya akan menimbulkan kesenjangan bagi daerah-daerah lainnya yang ada diIndonesia yang pada ahirnya pembangunan di segala sector yang ada di daerah yang bukan penghasil migas akan mengalami kemandetan.
Dilain sisi pemerintah daerah yang merupakan penghasil migas mengatakan permintaan untuk menaikkan jatah mereka di dasari oleh angka kemiskinan yang makin tinggi, serta pembangunan infrastruktur yang tersendat. Disamping itu cadangan minyak yang semakin menipis, menyebankan kesejahteraan rakyat semakin terbatas. Disampin itu juga dalam beberapa kontrak migas pemerintah memberikan persentase bagi hasil lebih besar kepada kontraktor.
Dasar pemikiran inilah yang membuat pemerintah daerah penghasil minyak meminta kepemerintah pusat agar menaikkan jatah bagi daerah penghasil minyak.
Dalam model ketergantungan metropolis-satelitnya (satellite-metropolis model of Dependency) yang juga menggandung hubungan tidak adil dan ketergantungan (unfair and dependent relationship) baik pada tingkat—antara negara industri maju (NIM) Barat dengan negara-negara Dunia Ketiga—maupun pada tingkat nasional—antara Dati I dengan Dati II. Perubahan struktural lainnya yang seharusnya terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi Pemda tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga adanya baik komitmen dari Pempus dan Pemda untuk mensejahterakan rakyat di daerah maupun pengakuan dan pengertian dari Pempus tentang keberagaman kelompok etnis dan kelompok social lainnya serta keberagaman budaya.
Asas dekosentrasi dan medebewind yang perlu dirubah dalam rangka melaksanakan Otda yang luas dan nyata, yaitu memperbaharui hubungan antara Pempus dengan Pemda, adalah sebagai berikut: Pada asas dekosentrasi, kewenangan hanya bersifat pelimpahan dari Pempus kepada Pemda. Perbedaan kewenangan pada pemerintahan adalah bahwa Pempus memiliki kewenangan yang luas yaitu kebijakan, perencanaan, pembiayaan dan pengawasan; sedangkan Pemerintah Propinsi, (Pemprop) hanya bertindak sebagai koordinator yaitu mengkoordinasikan empat kewenangan Pempus tersebut kepada daerah kabupaten/kota; dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) hanya berwenang menunjang dan melengkapi kewenangan Pempus dan Pemprop. Pada asas pembantuan (medebewind), pemberian kewenangan dari Pempus kepada daerah (Pemprop.dan Pemkab/Pemkot.) hanya bersifat pengikutsertaan dalam arti bahwa wewenang yang diberikan oleh hanya sekedar bertugas membantu pusat. Pempus memiliki kewenangan yang sangat luas yaitu kebijakan, perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengawasan; sedangakan Pemprop hanya bertugas sebagai koordinator yang mengkordinasikan lima kewenangan Pusat tersebut kepada Pemkab/Pemkot; dan kedua tingkat Pemerintahan yang disebut terakhir ini bertugas membantu Pempus melaksanakan kelima kewenangan tersebut.

Uraian diatas menunjukkan bahwa kewenangan Pempus pada dua asas di atas memang sangat luas. Kewenangan dan kebijakan mereka berasal dari atas ke bawah (Top-down policy). Pada kedua asas ini, semua kewenangan berasal dari Pempus Pemprop bertindak hanya sebagai kordinator, sedangkan Pemkab. Dan Pemkot. Hanya menunjang atau melengkapi dan membantu pelaksanaan. Pemda—Pemprop, dan Pemkab/Pemkot--dipandang sebelah mata, kalau boleh dikatakan, dianggap tidak ada.
Hubungan antara Pusat dan daerah seperti digariskan oleh dua asas di atas bukan saja merupakan hubungan tidak seimbang, timpang dan tidak adil, tetapi juga hubungan yang banyak merugikan daerah-daerah, bahkan, sebagai tercantum dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) No.X/MPR/1998, menimbulkan atau terjadinya banyak penyalahgunaan wewenang, penyelewengan; korupsi, kolusi dan neptisme (KKN); dan tidak berjalannya proses partisipasi, budaya politik dalam system politik nasional; kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan, ”termasuk kekuasaan Legislatif yang berada dibawah pengaruh kuat dan bayang-bayangi oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini lembaga kepresidenan”(tambahan dari penulis sendiri), menimbulkan krisis struktural dan sistemik yang tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan social secara proporsional dan optimal; selain itu pengambilan keputusan tidak sesuai dengan kondisi geografis dan demografis dan budaya setempat yang menimbulkan hambatan bagi terciptanya keadilan, pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas nyata; pengembangan kualitas SDM, sikap mental dan kaderisasi pemimpin tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan mengalirnya SDM yang berkualitas dari daerah-daerah ke Pusat dan kurang memberi kesempatan bagi SDM di daerah-daerah untuk lebih berkembang.
Keadaan yang kronis seperti ini mendorong penataan kembali hubungan antara Pusat dengan Daerah dengan melakukan perubahan struktural melalui dan memberlakukan asas desentralisasi. Pada asas Desentralisasi (lihat juga gambar tentang tiga jenis hubungan Pusat dan Daerah), sifat pemberian kewenangan adalah Pempus melimpahkan atau menyerahkan wewenang kepada Daerah. Wewenang yang masih ada pada Pempus adalah hanya pengawasan, pengendalia dan pertanggungjawabab umum. Wewenang yang dimiliki oleh Pemprop. Hanya terletak dalam segi koordinasi dan pengawasan, sedangkan wewenang Pemkab dan Pemkot meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan pelaksanaan, pembiayaan, kecuali gaji pegawai. Asas ini mendorong timbulnya aktivitas kebijakan dan kewenangan dari bawah ke atas (Bottom-up policy) yang melahirkan hubungan Pusat-daerah yang relatif seimbang, adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar